Halaman

Selasa, 09 Februari 2021

terbelit lidah sendiri

terbelit lidah sendiri

 Demi pembangunan nasional menunjang kebutuhan hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Maka daripada itu bukan hal menggelikan jika antar periode presiden, memanfaatkan utang luar negeri, mendayagunakan bantuan sosial asing identik barter politik.

 Berlakulah paribasan Jawa “kacang mangsa ninggala lanjaran!”. Dominasi input, masukan politik menentukan laju peradaban berkemajuan. Norma politik mengadop kebijakan internasioanl. Berdampak mulai dari proses legislasi sampai praktik demokrasi permukaan, ambang atas. Maksudnya, kemanfaatan politik multipartai semakin ke atas, semakin mengambang. Tidak menapak dan mengakar ke bawah, dasar bermasyarakat.

 Jika politisi sipil dikenal karena pemikiran – terlebih dibukukan, dibakukan – beda zaman beda naskah. Era reformasi memberi kesempatan dan peluang kepada anggota partai untuk obral ujaran, bebas buka cangkem sembarang tempat dan tidak kenal waktu. Jasa media massaa arus pendek yang dipelihara oleh negara kian melancarkan asas ringan lidah, ringan mulut. Begitulah bukti paribasan Jawa “kakèhan galudhug kurang udan”.

 Kalau ada pasal yang tampak berakal, cuma menyitir kata ahlinya. Apalgi ujar leluhurnya, Bukan pendapat pribadi yang susah didapat. Sensitivitas anak bangsa pribumi yang masih doyan nasi, sesuai gelombang politik yang menerpa jidatnya. Menatap tanpa tatap muka  orang jalan cepat, langsung ikut reaksi cepat. Menyimak lawan jenis melintas di depan hidungnya, langsung kembang kempis. Membaca ujaran kebencian, belum-belum sudah terangsang untuk menyonyorkan diri. [HaéN]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar