Halaman

Selasa, 09 Februari 2021

bénténg awal sekaligus bénténg akhir demokrasi

bénténg awal sekaligus bénténg akhir demokrasi

PERTAMA. Kehidupan manusia yang masih menapak di permukaan bumi. Beda pasal dengan penghuni rumah susun dan sebutan semaksud, seolah tidak punya tanah peruntukkan hak pribadi. Kondisi ini kian mengkerucutkan gaya hidup berkedirian. Bukan anti-sosial. Jalan keluar menjaga status makhluk sosial, aksi interaksi sosial  liwat fungsi dan manfaat RT/RW.

 Acara tedhak siten, mudun lemah, acara ritual adat dan tradisi masyarakat Jawa untuk anak yang baru pertama kali kenal tanah, belajar berjalan atau pertama kali menginjakkan kaki pada tanah belajar menapak, melangkah. Berlanjut bagi anak manusia karena kategori usia lanjut, usia senja alias “bau tanah”.

 Betapa pola pertanahan mengiringi umur manusia. “Dari tanah kembali ke tanah” simbol religius yang dicerna sesuai adat lokal. Cinta tanah-air bukan berarti ada ikatan moral dengan tanah kelahiran. Artinya tetap bertahan sampai akhir hayat. Jangan kemana-mana kalau tidak ditanya. Kalau tidak ada yang memuji diri, langsung lakukan sanjung diri tanpa tedeng aling-aling.

 KEDUA. Kemurahan alam selaku penyedia kebutuhan dasar manusia, yang tinggal pakai. Diimbali dengan sikap manusia yang ramah lingkungan. Saking ramahnya, manusia dengan seperangkat akal cerdas mempraktikkan eksplorasi, eksploitasi sumber daya alam melebihi kebutuhan bangsa sendiri. Watak dasar manusia yang serakah. Kaki kanan menapak dimana. Kaki kiri berpijak dimana.

 Manusia dengan alat kelengkapan akal, alat perlindungan akal maunya sang pantat duduk dimana-mana. Belum jenak duduk, melihat rumput tetangga lebih ranum, lebih bernas, sigap berkutu loncat. Pasal loncat pagar untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas, pembuka mata hati, dianjurkan oleh protokol kemanusiaan.

 Sekiranya manusia jemput bola atas kemurahan tanah-air nusantara. Teori antrian tidak berkata demikian. Kredo “siapa cepat, lebih dapat”. Siapa lambat, siap dilipat. Disambut fakta anyar teranyarkan “wis édan tenan, tetep ora keduman”.

 Di éra mégatéga, hukum téganya ke rakyat kecil. Modus politik nusantara, mégatéganya ke bangsa sendiri. Aroma irama politik lokal tergantung iklim global. Bermain cantik di kandang sendiri, kapan kebagian peran utama. Butuh tempat pembuangan akhir sampah politik.

 Indonesia–ku, demi sebuah kursi serba dan anéka mégatéga. Namanya Indonesia kawan, semakin berpengalaman menyelenggarakan daripada pesta demokarasi, pemilihan umum, malah semakin banyak membuat ‘salah administrasi’. Semakin UU diperbarui dengan seksama sesuai selera penguasa pada periode ybs. Bisa terjadi sebagai titipan dari pihak yang lebih nyata kuasanya. [HaéN]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar