Halaman

Senin, 22 Februari 2021

firasat politik sang proklamator, pasca reformasi

firasat politik sang proklamator, pasca reformasi

 Taraf lomba antar generasi. Adu bakat untuk menjadi tukang adu antar rakyat. Kasat mata di mata awam. Masuk di kandang manusia politik.  Siap segala peran. Sigap tidak kebagian peran akibat setoran kalah pamor dengan pendatang, muka baru tapi sedia. Diminta sekarang untuk berlaga bebas. Tanpa pikir langsung terjun bebas menjajagi agresivitas pihak lawan di teritorialnya.

 Efektivitas negara berkembang, multipartai, trah darah politik agawé tatanan negoro gampang owah. Simpul sederhana mengacu pasal kehidupan. Filosofi lawas teranyarkan: politik  7 (tujuh) turunan identik RI-1 pertama hingga sampai RI-1 ketujuh ditentukan oleh zaman. Bukan sebaliknya. Hanya soal waktu siapapun yang menduduki jabatan kepala negara, pimpinan pemerintah, penguasa rakyat. Sudah terterakan nasib politiknya.

 Langkah panjang, lompatan jauh ke 100 tahun NKRI. Bisa-bisa bisa bukan tarikan garis lurus dari 7 presiden. Kemungkinan serba mungkin, diimbangi kemungkinan tak terduga serta kemungkinan masih ada kemungkinan lain atau tidak. Pasca reformasi yang bergulir bebas dari puncaknya, 21 Mei 1998. Berkat pilpres mulai 2004, belum terjadi presiden hanya satu periode.

 Laju arus pergerakan politik nusantara bukan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan zaman atau syarat mengelola peradaban. Sibuk urus urusan perut dan atau urusan bawah perut penyelenggara negara. Indeks demokrasi nusantara dimantapkan dengan stabilitas kedudukan pantat penguasa. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar