tinggal bokong yang tak
bisa pecah kongsi
Fenomena “pecah kongsi” pernah marak di panggung
syahwat politik nusantara. Pelakunya dimonopoli oleh wakil kepala daerah. Secara
hukum, posisi wakil kepala daerah sebatas sebagai subordinate. Pengertian karena
wakil bertanggung jawan kepada kepala.
Asumsi historis, wakil kepala negara bisa sekedar
ban serep atau bernasib bak matahari kembar. Pembantu kepala negara malah bisa
lebih kinclong. Mencorong. Dimungkinkan malah akan menjadi pesaing
berkelanjutan.
Beda dengan sebutan ‘wakil rakyat’. Malah secara
politis, yuridis formal, sebagai penyandang kasta yang terhormat. Anggota dewan.
Kalau menyebut ‘anggota’ saat operasi tertib lalu lintas, biar dikira ‘angkatan’.
Atau malah langsung sebut nama ‘angkatan’. Ku tak tahu pasti.
Koalisi parpol di pilkara tak otomatis berlaku di
pilkada. Efek domino pilkada serentak, nyaris parpol kehabisan stok kader layak
tanding. Kalkulasi politik vs biaya politik, menjadi pertimbangan utama
penentuan siapa akan berpasangan dengan siapa. Soal cocok, itu urusan nanti
setelah terpilih.
Akhirnya, ada juga belum ditetapkan sebagai
pasangan ganda campuran beda parpol. Langsung balik badan. Serakah politik
kentara dan seolah bukan pasal aib, hina, nista. Bongkar pasang pasangan
sebelum turun gelanggang. Lawan tanding menentukan perolehan suara. Rekam jejak, jam terbang tak bisa diabaikan.
Salah menentukan pasangan bisa berakibat cuma buang
uang. Seempuk-empuk, lebih nikmat lesehan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar