Halaman

Minggu, 10 November 2019

tinggal bokong yang tak bisa pecah kongsi


tinggal bokong yang tak bisa pecah kongsi

Fenomena “pecah kongsi” pernah marak di panggung syahwat politik nusantara. Pelakunya dimonopoli oleh wakil kepala daerah. Secara hukum, posisi wakil kepala daerah sebatas sebagai subordinate. Pengertian karena wakil bertanggung jawan kepada kepala.

Asumsi historis, wakil kepala negara bisa sekedar ban serep atau bernasib bak matahari kembar. Pembantu kepala negara malah bisa lebih kinclong. Mencorong. Dimungkinkan malah akan menjadi pesaing berkelanjutan.

Beda dengan sebutan ‘wakil rakyat’. Malah secara politis, yuridis formal, sebagai penyandang kasta yang terhormat. Anggota dewan. Kalau menyebut ‘anggota’ saat operasi tertib lalu lintas, biar dikira ‘angkatan’. Atau malah langsung sebut nama ‘angkatan’. Ku tak tahu pasti.

Koalisi parpol di pilkara tak otomatis berlaku di pilkada. Efek domino pilkada serentak, nyaris parpol kehabisan stok kader layak tanding. Kalkulasi politik vs biaya politik, menjadi pertimbangan utama penentuan siapa akan berpasangan dengan siapa. Soal cocok, itu urusan nanti setelah terpilih.

Akhirnya, ada juga belum ditetapkan sebagai pasangan ganda campuran beda parpol. Langsung balik badan. Serakah politik kentara dan seolah bukan pasal aib, hina, nista. Bongkar pasang pasangan sebelum turun gelanggang. Lawan tanding menentukan perolehan suara.  Rekam jejak, jam terbang tak bisa diabaikan.

Salah menentukan pasangan bisa berakibat cuma buang uang. Seempuk-empuk, lebih nikmat lesehan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar