Halaman

Selasa, 05 November 2019

jalan gagah hukum nusantara, tak pakai tegak


jalan gagah hukum nusantara, tak pakai tegak

Memang, saya bukan anggota ormas apalagi simpatisan parpol. Sudah tak punya suku bangsa. Keculai kalau pakai dalil nasab, garis keturunan dari bapak, ayah. Pola struktur nama diri tak sesuai kaidah ‘yen dipangku mati’.

Mau bicara, bincang, omong soal hukum. Tentu jauh dari pasal pangku-memangku. Tak masuk perkara mati-mematikan. Cara awam, tahu sedikit tapi mampu memberi tahu banyak. Kepala tanpa botak, pasti bukan tipe pemikir. Rambut pendek simbol model sumbu pendek. Sekali pencet, sekali aba, langsung tancap gas.

 Berkat Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, maka Indonesia mengenal hukum. Tepatnya, muncul di Pasal 1 Ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum. Jangan lupa asumsi historis, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.

Bukan kesimpulan apalagi temuan lapangan, fakta bersejarah. Tanpa perlu pembuktian terbalik, kontra arus opini masyarakat, kekuatan pasar dalam negeri, sentiment positif actor non-negara. Fenomena ‘lembaga penegak hukum’ sebagai panglima, raja segala raja, sing mbaurekso negoro. Sebagai pihak formal penentu jalannya hukum.

Ikhwal ini menentukan praktik demokrasi. Nusantara belum punya formulasi resmi, rumusan baku apa itu ‘demokrasi politik’. Sebaliknya, sang penguasa akibat sentuhan berhala reformasi 3K (kaya, kuasa, kuat) akan menentukan nasib negara lima tahun ke depan. Bagaimana dengan jalan tegak. Sambil tepuk dada tanya selera. Tepuk jidat tanda punya otak.

Hukum tak pilih kasih tak kenal tebang pilih. Maksudnya, hukum berkemampuan diri bisa memilah dan atau memilih, pihak mana yang wajib ditebang, ditendang, sampai tumbang. Pihak siapa yang layak ditebas, dilibas sampai tuntas. Blokade, blokir karirnya. Biar tahu rasa. Kawanan buaya kok dilawan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar