jalan gagah hukum
nusantara, tak pakai tegak
Memang, saya bukan anggota ormas apalagi simpatisan
parpol. Sudah tak punya suku bangsa. Keculai kalau pakai dalil nasab, garis
keturunan dari bapak, ayah. Pola struktur nama diri tak sesuai kaidah ‘yen dipangku mati’.
Mau bicara, bincang, omong soal hukum. Tentu jauh
dari pasal pangku-memangku. Tak masuk perkara mati-mematikan. Cara awam, tahu
sedikit tapi mampu memberi tahu banyak. Kepala tanpa botak, pasti bukan tipe
pemikir. Rambut pendek simbol model sumbu pendek. Sekali pencet, sekali aba,
langsung tancap gas.
Berkat
Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, maka Indonesia mengenal hukum. Tepatnya, muncul
di Pasal 1 Ayat (3): Negara Indonesia adalah
negara hukum. Jangan lupa asumsi
historis, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum.
Bukan kesimpulan apalagi temuan lapangan, fakta
bersejarah. Tanpa perlu pembuktian terbalik, kontra arus opini masyarakat,
kekuatan pasar dalam negeri, sentiment positif actor non-negara. Fenomena
‘lembaga penegak hukum’ sebagai panglima, raja segala raja, sing mbaurekso negoro. Sebagai pihak formal penentu jalannya hukum.
Ikhwal ini menentukan praktik demokrasi. Nusantara
belum punya formulasi resmi, rumusan baku apa itu ‘demokrasi politik’. Sebaliknya,
sang penguasa akibat sentuhan berhala reformasi 3K (kaya, kuasa, kuat) akan
menentukan nasib negara lima tahun ke depan. Bagaimana dengan jalan tegak. Sambil
tepuk dada tanya selera. Tepuk jidat tanda punya otak.
Hukum tak pilih kasih tak kenal tebang pilih.
Maksudnya, hukum berkemampuan diri bisa memilah dan atau memilih, pihak mana
yang wajib ditebang, ditendang, sampai tumbang. Pihak siapa yang layak ditebas,
dilibas sampai tuntas. Blokade, blokir karirnya. Biar tahu rasa. Kawanan buaya
kok dilawan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar