generasi tulang lunak
nusantara vs militansi kaum pemilik masa depan bangsa
Fakta dan data sejarah lebih daripada bicara, angkat suara. Zaman Orde Baru
kawanan partai politik kehilangan momentum sebagai partai. Golkar, yang bukan
partai politik, menjadi kendaraan politik multimanfaat, serbaguna penguasa
tunggal Orde Baru.
Tak kalah gebrakan. Paham ‘nasakom’ produk unggulan Orde Lama, masih eksis
menyesuaikan diri. Anak cucu idelogis masih berserakan. Strata, kasta, klas
sosial yang ada di nusantara, secara tak langsung menyuburkan operasi senyap
sayap kiri. Pasca reformasi yang bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998, kran
demokrasi terbukan deras. Parpol aneka warna lomba bangkit.
Kepentingan politik segala aliran, yang bertujuan memperoleh sumber daya
ekonomi, menjadi pemacu plus pemicu tindak toleransi/intoleransi. Dengan kata
lain, beda keyakinan atau etnik saja
tidak signifikan pengaruhnya terhadap perilaku toleransi/intoleransi.
Tahun politik 2018 dam 2019, melahirkan moral bangsa berwujud olok-olok
politik. Beda pilihan menjadi penyebab utama perpecahan bangsa. Kalangan intelektual
atau penyandang gelar akademis, ikut andil secata aktif sebagai peolok-olok
politik liwat produk TIK.
Bukan kesimpulan, bahwasanya terjadi dedikasi pelanjut nusantara, pejah
gesang ndèrèk panguwasa. Usai produktif seusai bonus demografi, identik menjadi
pelaksana tanpa banyak tanya. Apalagi berpikir. Berhala reformasi 3K (kaya, kuat,
kuasa) menjadi modal utama. Pihak yang menentukan nasib bangsa, bukan karena
perjuangan bersama rakyat. Lebih dicetak oleh mesin politik. Parpol di negara
yang kadar adab melebihi kapasitas diri, tetap menjadi pabrik penguasa negara.
Dedikasi manusia politik nusantara sudah ada formulanya. Terdapatlah
anggaran demokrasi vs biaya politik. Kalkulasi politik, biaya politik, ongkos
politik, mahar politik, uang muka politik, konspirasi atas angin menjadi bahan
perhitungan. Mental budak politik mendominasi langkah praktis, taktis,
strategis. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar