Halaman

Jumat, 22 November 2019

tepuk jidat tanda punya otak


tepuk jidat tanda punya otak

Doeloe ada fakta ‘garuk-garuk kepala walau tak gatal’. Kejadian yang terjadi sebenarnya terus berkembang. Bahasa tubuh bagian dari pantomim, kialan. Kontradiksi dengan jurus gebuk di tempat, rembuk kalau sempat. Korban jiwa tak ada artinya.

Bahasa tubuh, bisa isyarat. Pratanda internal tubuh sedang bermasalah. Tepuk jidat tanda punya kening, atau punya akal. Telunjuk tangan disilangkan di kening, tanda lawan bicara, pembaca sms ini, sakit jiwa. Miring otaknya. Ke kanan atau ke kiri, tergantung otak kanan atau otak kiri yang dominan. Garuk-garuk kepala yang tak gatal. Panas dalam, suhu tubuh, darah dingin tiap saat berubah tanpa terdeteksi. Alarm tubuh sinyal stabilitas jiwa-raga. Mantapkan.

Di panggung wayang atau kehidupan manusia zaman pasca wayang, seolah memang ada skenario besar tapi olahan manusia. Yang mana dimana, jelas menentukan siapa akan jadi apa. Siapa akan memerankan apa. Kapan tampil dan berapa lama. Betara Guru atau danyang yang menguasai ndonyo, seolah tersingkirkan secara perlahan dan pasti. Pensiun dini. Di pihak beda pilihan, banyak dedemit yang dikarbit menjadi jadi-jadian. Namanya politik.

Awal  reformasi untuk menjaga wibawa penguasa agar tak cepat basi, ambil  langkah politis dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi.

Tersisa doa rakyat. Walau dicabut akar serabutnya, tetap membumi. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar