Halaman

Kamis, 21 November 2019

generasi skenhaf, kecanduan gawai sejak renta


generasi skenhaf, kecanduan gawai sejak renta

Ternyata, yang namanya penduduk, rakyat, masyarakat, warga negara, kaum, suku bangsa, ras, golongan atau sebutan lainnya sebuah negara yang asyik-asyik sedang, masih, selalu, akan berkembang. Katakan sejujurnya, macam Indonesia. Apa pun bisa terjadi dan ini menjadi modal karakter, jiwa dasar, watak utama. Sanggup duduk sama bongkok dengan sesama bangsa bekas dijajah oleh bangsa lain.

Jangan ditanya soal angan-angan melampaui batas potensi diri. Meruncingnya rasa primordialisme (anggapan yang menganggap bahwa pernik-pernik kehidupan yang dibawa sejak dalam kandungan, sejak lahir, baik tradisi, adat istiadat, kebiasaan, budaya, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertama sebagai yang benar, baik, bagus) di tengah gelombang persaingan dengan hukum rimba.

Pemimpin yang berpertimbangan, mempunyai jurus keseimbangan jitu: win-win solution bagi semua pihak. Mampu memberdayakan semua permintaan pasar, sentimen positif maupun negatif, energi lawas teranyarkan, potensi lokal yang ada untuk bersinergi. Bukan bagi-bagi kursi sesuai kontribusi berani mati vs berani malu. Tanpa memancing polemik, konflik, intrik terselubung.

 Praktik pesta demokrasi nusantara, mulai pilkada, pemilu legislative hingga pilpres, dengan asas one man one vote. Maka suara satu orang pengguna hak pilih yang sah, dalam kondisi berimbang, sangat menentukan. Khususnya menentukan nasi diri si kontestan.

Menyikapi potensi negatif, sentimen negatif, flukstuasi anarkis tersamar, kurs tengah yang membayangi kekuasaan politik pejawat. Komunitas kebangsaan bermain cerdas. Jangan bermain dua kaki mengobangi modus penguasa yang suka bermuka ganda.

 Komunitas kebangsaan yang berlandaskan suara rakyat, bak wasit atau bahkan kusir. Bukan juru damai yang merupakan kepanjangan tangan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar