generasi skenhaf,
kecanduan gawai sejak renta
Ternyata, yang namanya penduduk, rakyat, masyarakat,
warga negara, kaum, suku bangsa, ras, golongan atau sebutan lainnya sebuah
negara yang asyik-asyik sedang, masih, selalu, akan berkembang. Katakan sejujurnya,
macam Indonesia. Apa pun bisa terjadi dan ini menjadi modal karakter, jiwa dasar,
watak utama. Sanggup duduk sama bongkok dengan sesama bangsa bekas dijajah oleh
bangsa lain.
Jangan ditanya soal angan-angan melampaui batas potensi
diri. Meruncingnya rasa primordialisme (anggapan yang menganggap bahwa
pernik-pernik kehidupan yang dibawa sejak dalam kandungan, sejak lahir, baik
tradisi, adat istiadat, kebiasaan, budaya, kepercayaan, maupun segala sesuatu
yang ada di dalam lingkungan pertama sebagai yang benar, baik, bagus) di tengah
gelombang persaingan dengan hukum rimba.
Pemimpin yang berpertimbangan, mempunyai jurus
keseimbangan jitu: win-win solution bagi semua
pihak. Mampu memberdayakan semua permintaan pasar, sentimen positif maupun negatif,
energi lawas teranyarkan, potensi lokal yang ada untuk bersinergi. Bukan bagi-bagi
kursi sesuai kontribusi berani mati vs berani malu. Tanpa memancing polemik,
konflik, intrik terselubung.
Praktik pesta
demokrasi nusantara, mulai pilkada, pemilu legislative hingga pilpres, dengan
asas one man one vote. Maka suara
satu orang pengguna hak pilih yang sah, dalam kondisi berimbang, sangat menentukan.
Khususnya menentukan nasi diri si kontestan.
Menyikapi potensi negatif, sentimen negatif, flukstuasi
anarkis tersamar, kurs tengah yang membayangi kekuasaan politik pejawat. Komunitas
kebangsaan bermain cerdas. Jangan bermain dua kaki mengobangi modus penguasa
yang suka bermuka ganda.
Komunitas kebangsaan yang berlandaskan suara rakyat, bak
wasit atau bahkan kusir. Bukan juru damai yang merupakan kepanjangan tangan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar