Halaman

Rabu, 27 November 2019

nduwèni ilmu nanging kurang ngèlmu



nduwèni ilmu nanging kurang ngèlmu

Bukan peribahasa, perumpamaan. Jauh dari makna filsafat, filosofi, falsafah. Juga tidak. Terkait peri kehidupan memang begitulah bunyinya. Ilmu formal bisa dituntut, diraih, ditimba sampai negeri China. Meninggalkan tanah air, tanah kelahiran, beralih kewarganegaraan demi ilmu. Merasa dengan ilmu bisa untuk bekerja.

Orang dinilai dari penampilan, manusiawi. Pakai ilmu padi atau pilih ilmu kondom. Jaga imej bukan pasal nista. Garang garing, bagian utama dari modus menjaga stabilitas wibawa diri. Semakin berilmu semakin mengenali dirinya. Antara cerdas dengan berotak atau berilmu, bisa kontradiktif.

Manusia mengutamakan indera mata untuk merekam alat bukti, yang tersurat. Kendati mahir mengelola gawai di tangan. Duduk manis di tempat, ujung jari ikut arus kesejagatan. Tak ada sekat waktu plus tak ada batas jarak. Ruang dunia nusantara hanya masalah teritorial. Merasa bertambah pengalaman. Kian ahli berujar berbanding lurus dengan daya komen. Akhirnya tanpa akhir terbentuk sebagai pengguna ilmu permukaan.

Kelamaan duduk manis atau betah diposisikan sebagai penghuni bangku cadangan. Plus kurang menyimak ayat alam, fenomena alam. Memahami ada apa di balik alat bukti, kandungan kenyataan di balik suatu kejadian, hakikat.

Beda jika mata batin, mata hati diajak serta. Bahkan menjadi pembuka jalan, penyibak wawasan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar