nduwèni ilmu nanging
kurang ngèlmu
Bukan peribahasa,
perumpamaan. Jauh dari makna filsafat, filosofi, falsafah. Juga tidak. Terkait
peri kehidupan memang begitulah bunyinya. Ilmu formal bisa dituntut, diraih,
ditimba sampai negeri China. Meninggalkan tanah air, tanah kelahiran, beralih
kewarganegaraan demi ilmu. Merasa dengan ilmu bisa untuk bekerja.
Orang dinilai dari
penampilan, manusiawi. Pakai ilmu padi atau pilih ilmu kondom. Jaga imej bukan
pasal nista. Garang garing, bagian utama dari modus menjaga stabilitas wibawa
diri. Semakin berilmu semakin mengenali dirinya. Antara cerdas dengan berotak
atau berilmu, bisa kontradiktif.
Manusia mengutamakan
indera mata untuk merekam alat bukti, yang tersurat. Kendati mahir mengelola
gawai di tangan. Duduk manis di tempat, ujung jari ikut arus kesejagatan. Tak
ada sekat waktu plus tak ada batas jarak. Ruang dunia nusantara hanya masalah
teritorial. Merasa bertambah pengalaman. Kian ahli berujar berbanding lurus
dengan daya komen. Akhirnya tanpa akhir terbentuk sebagai pengguna ilmu
permukaan.
Kelamaan duduk manis
atau betah diposisikan sebagai penghuni bangku cadangan. Plus kurang menyimak
ayat alam, fenomena alam. Memahami ada apa di balik alat bukti, kandungan kenyataan
di balik suatu kejadian, hakikat.
Beda jika mata batin,
mata hati diajak serta. Bahkan menjadi pembuka jalan, penyibak wawasan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar