Halaman

Selasa, 26 November 2019

daya tahan politik nusantara


daya tahan politik nusantara

Keanekaragaman partai politik di nusantara berbanding lurus dengan ketersediaan politisi sipil klas nasional. Walau masih jauh dari standar negarawan. Bahkan disebut politikus, paling-paling hanya sebatas politikus senior. Tergantung jam terbang. Bukan manfaat bagi nusa dan bangsa.

Puncak karier, top prestasi seorang anggota partai, jika sudah menjadi wakil rakyat, kepala daerah bahkan kepala negara. Lebih terukur malah bisa mendirikan sebuah partai politik. Profesi sebagai pengurus partai menjadikan dirinya masuk status sosial menengah-atas. Tak perlu merintis dari bawah. Modal Rp, elektabilitas, popularitas dan sejenisnya langsung tak pakai lama bertengger di pucuk pimpinan.

Periodeisasi jabatan presiden serta praktiknya sampai presiden ke-7 secara tak langsung menyiratkan minat, niat, ambisi, pamrih manusia dan atau orang nusantara mendirikan bentukan partai politik. Kedua keseimbangan tersebut nyaris sudah terwakili. Parpol sempalan dari paham ‘nasakom’ Orde Lama. Disederhanakan semasa penguasa tunggal Orde Baru.

Asumsi sejarah kian mendramatisir nyali politisi sipil di palagan pembagian, pemisahan maupun perimbangan kekuasaan. Wawasan nusantara diterjemahbebaskan bahwa alat negara masuk sistem birokrasi nasional. Lebih terukur dibanding modus dwifungsi ABRI zaman rezim politik Orde Baru. Bisnis politik militer seperti siapa menghadapi siapa. Bak timnas bal-balan yang sigap bongkar pasang pemain, pergantian pemain.

Kemudian daripada itu, permainan catur politik nusantara. Pakai pola gerilya atau santap bubur ketan panas. Di tengahnya ada tuangan juruh, santan. Disendok pakai ujung sendok, sesendok demi sesendok, mulai dari pinggir, tepi luar. Jangan langsung ke tengah, pertahanan kuat. Bukan misi bunuh diri. Atau ada maksud terselubung. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar