daya tahan politik
nusantara
Keanekaragaman partai
politik di nusantara berbanding lurus dengan ketersediaan politisi sipil klas
nasional. Walau masih jauh dari standar negarawan. Bahkan disebut politikus,
paling-paling hanya sebatas politikus senior. Tergantung jam terbang. Bukan manfaat
bagi nusa dan bangsa.
Puncak karier, top
prestasi seorang anggota partai, jika sudah menjadi wakil rakyat, kepala daerah
bahkan kepala negara. Lebih terukur malah bisa mendirikan sebuah partai
politik. Profesi sebagai pengurus partai menjadikan dirinya masuk status sosial
menengah-atas. Tak perlu merintis dari bawah. Modal Rp, elektabilitas,
popularitas dan sejenisnya langsung tak pakai lama bertengger di pucuk
pimpinan.
Periodeisasi jabatan
presiden serta praktiknya sampai presiden ke-7 secara tak langsung menyiratkan minat,
niat, ambisi, pamrih manusia dan atau orang nusantara mendirikan bentukan
partai politik. Kedua keseimbangan tersebut nyaris sudah terwakili. Parpol sempalan
dari paham ‘nasakom’ Orde Lama. Disederhanakan semasa penguasa tunggal Orde
Baru.
Asumsi sejarah kian
mendramatisir nyali politisi sipil di palagan pembagian, pemisahan maupun perimbangan
kekuasaan. Wawasan nusantara diterjemahbebaskan bahwa alat negara masuk sistem
birokrasi nasional. Lebih terukur dibanding modus dwifungsi ABRI zaman rezim
politik Orde Baru. Bisnis politik militer seperti siapa menghadapi siapa. Bak timnas
bal-balan yang sigap bongkar pasang pemain, pergantian pemain.
Kemudian daripada itu,
permainan catur politik nusantara. Pakai pola gerilya atau santap bubur ketan
panas. Di tengahnya ada tuangan juruh, santan. Disendok pakai ujung sendok,
sesendok demi sesendok, mulai dari pinggir, tepi luar. Jangan langsung ke
tengah, pertahanan kuat. Bukan misi bunuh diri. Atau ada maksud terselubung. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar