pelencengan semangat
(hari) pahlawan. libas semua lawan politik
Bukan sekedar kehendak
dan tuntutan sejarah peradaban. Politik nusantara sedemikian tragis sehingga
menjadi agama bumi. Kawanan penganut – tepatnya loyalis penguasa – sigap 24 jam
bela majikan, jaga juragan, kawal pihak yang dermawan bagi-bagi kursi. Karir dan
masa depan terjamin, kian semangat berdiri tegak pasang badan.
Padahal, menurut kamus
dan bahasa politik. Model manusia dan atau orang dimaksud, masuk kategori 3R
(rawan, rentaan, riskan) rasa kemanusiaannya. Kadar perikemanusiaan sesuai
pendekatan Rp. Tinggal pencet tombol, knop, tuts mereka akan bergerak bebas.
Masalahnya, mulai akar
rumput berkategori masyarakat kurang beruntung dalam peruntungan pendayagunaan
akal. Sampai lapisan pelindung penguasa merasa tak butuh rakyat. Akhirnya ada
pihak berlaku sebagai penyedia jasa, bukan karena panggilan tugas.
Berkat Perubahan Ketiga
UUD NRI 1945, maka Indonesia mengenal hukum. Tepatnya, muncul di Pasal 1 Ayat
(3): Negara Indonesia adalah negara hukum. Jangan lupa bahwasanya Pancasila adalah sumber
dari segala sumber hukum.
Bukan kesimpulan apalagi
temuan lapangan, fakta bersejarah. Tanpa perlu pembuktian terbalik, kontra arus
opini masyarakat, kekuatan pasar dalam negeri. Fenomena ‘lembaga penegak hukum’
sebagai panglima, rajadiraja. Sebagai pihak formal penentu jalannya hukum.
Ikhwal ini menentukan
praktik demokrasi. Sebaliknya, sang penguasa akibat sentuhan berhala reformasi
3K (kaya, kuasa, kuat) akan menentukan nasib negara lima tahun ke depan.
Nusantara belum punya
rumusan resmi apa itu ‘demokrasi politik’. Hukum tak pilih kasih tak kenal
tebang pilih. Maksudnya, ‘hukum’ bisa memilah dan atau memilih, pihak mana yang
wajib ditebang, ditebas, dilibas sampai tuntas. Blokade, blokir karirnya. Biar tahu
rasa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar