Halaman

Rabu, 06 November 2019

politik trinoto, gembala penyesat vs gembala penghasut

politik trinoto, gembala penyesat vs gembala penghasut

Sekedar ala kadar kata ‘trinoto’. Bisa disangkutpautkan dengan ‘notonegoro’. Masih ada dua ‘noto’ yang bebas. Moronoto sampai saminoto. Tiap daerah punya khazanah per-noto-an. Ditulis ‘noto’ atau ‘nata’, terserah kebijakan bahasa lokal.

Sebagai kata kunci, harus jelas dan konsisten penerapannya. Soal apa yang dimaksud. Serahkan kepada kearifan diri. Bahasa soal seni, rasa, hati dan selera. Karya sastra  sampai uraian medis tergantung gudang kata dan kalimat.

Gemar ber-noto, tanpa sadar menjadi monoton. Acap dipakai oleh ahli penabur dan penebar olok-olok politik, yaitu notog dan notohi.

Fokus dan konsentrasi ke trinoto. Apa sama dengan trilogi. Kita bergeser ke coba simak frasa pranotomongso. Berarti ada pascanoto. Ada tengahnoto atau madyonoto.

Laju adab bernegera, pranotomongso dimodifikasi menjadi pesta demokrasi lima tahun sekali. Membayangkan target kursi maupun sasaran nikmat dunia, dihitung mundur. Dijabarkan per tahun. Diperkuat biaya demokrasi sebagai payung atau dasar otak-atik matuk.

Bagaimana keluwesan bentuk trinoto.

Makna Pertama. Trinoto bisa dilambangkan seperti, sebagai dan memang segitiga. Termasuk  aneka bentuk segitiga terbalik. Agar tampak lebih dinamis, atraktif. Bentukan baru dari dua segitiga. Macam bintang Daud. Makanya, modus politik nusantara, khususnya dalam gerakan islamfobia.

Makna Kedua. Apakah pakai kaidah tata urut normatif. Urut tua. Urut sesuai kedatangan. Simak bahwa yang Pertama yang belum tentu utama. Yang Kedua, belum tentu mau diduakan. Yang Ketiga yang tak mau disebut terakhir atau penutup.  

Jadi. Bukan pilihan. Analog dengan. Sebagai acuan. Kawanan domba sesat dipimpin seekor serigala bertaring. Atau koalisi serigala diketuai seekor domba bertanduk. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar