politik trinoto, gembala
penyesat vs gembala penghasut
Sekedar ala kadar kata ‘trinoto’. Bisa disangkutpautkan
dengan ‘notonegoro’. Masih ada dua ‘noto’ yang bebas. Moronoto sampai saminoto.
Tiap daerah punya khazanah per-noto-an. Ditulis ‘noto’ atau ‘nata’, terserah
kebijakan bahasa lokal.
Sebagai kata kunci, harus jelas dan konsisten
penerapannya. Soal apa yang dimaksud. Serahkan kepada kearifan diri. Bahasa
soal seni, rasa, hati dan selera. Karya sastra
sampai uraian medis tergantung gudang kata dan kalimat.
Gemar ber-noto, tanpa sadar menjadi monoton. Acap dipakai oleh ahli penabur
dan penebar olok-olok politik, yaitu notog dan notohi.
Fokus dan konsentrasi ke trinoto. Apa sama dengan trilogi.
Kita bergeser ke coba simak frasa pranotomongso. Berarti ada pascanoto. Ada tengahnoto atau madyonoto.
Laju adab bernegera, pranotomongso dimodifikasi menjadi
pesta demokrasi lima tahun sekali. Membayangkan target kursi maupun sasaran
nikmat dunia, dihitung mundur. Dijabarkan per tahun. Diperkuat biaya demokrasi
sebagai payung atau dasar otak-atik matuk.
Bagaimana keluwesan bentuk trinoto.
Makna Pertama. Trinoto bisa dilambangkan seperti, sebagai
dan memang segitiga. Termasuk aneka
bentuk segitiga terbalik. Agar tampak lebih dinamis, atraktif. Bentukan baru
dari dua segitiga. Macam bintang Daud. Makanya, modus politik nusantara,
khususnya dalam gerakan islamfobia.
Makna Kedua. Apakah pakai kaidah tata urut normatif. Urut
tua. Urut sesuai kedatangan. Simak bahwa yang Pertama yang belum tentu utama. Yang
Kedua, belum tentu mau diduakan. Yang Ketiga yang tak mau disebut terakhir atau
penutup.
Jadi. Bukan pilihan. Analog dengan. Sebagai acuan. Kawanan domba sesat
dipimpin seekor serigala bertaring. Atau koalisi serigala diketuai seekor domba
bertanduk. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar