Kontra Radikalisasi
Pemerintah, Pakai Jurus Tebang Pilih
Sumber resmi Pemerintah berujar tertulis, melalui Peraturan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pedoman
Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme. Fokus dan simak
pada:
Pasal 1
Dalam Peraturan
Menteri ini yang dimaksud dengan:
7.
Radikalisme adalah paham
yang ingin melakukan perubahan sistem sosial dan politik secara total dan
bersifat drastis dengan mengenyampingkan nilai dan norma yang ada, dengan
mengajarkan intoleran, fanatik, eksklusif, atau anarkis.
Tentu, Permen PPPA 7/2019 mempunyai payung hukum, antara lain UU 15/2018
tentang pemberantasan tipiror (tindak pidana terorisme). Utuhnya ‘tentang’
lihat UU-nya. Apakah di UU 15/2018 menyebutkan apa yang dimaksud dengan kata
kunci, lema ‘radikal’.
Betapa besar kepedulian, perhatian, kepekaan, daya tanggap pemerintah
terhadap cikal bakal aksi radikal. Dibuktikan dengan niatan mengatur busana
hingga memantau medsos CPNS. Bayangkan, ketika aksi berkelanjutan, menerus
gerakan separatis di pulau Papua. Pemerintah hanya men-stigma sebagai kelompok
criminal bersenjata. Untungnya, pihak asing tidak bisa dininabobokan.
Sentimen negatif pasar politik lokal, acap merangkaikan jargon: terorisme,
radikalisme, garis keras, ekstremis, militansi . . sampai anak balita (apalagi
anak perempuan) fasih.
Sedikit terhibur. Kendati pemerintah masih terkesima, terlena dengan proyek
skenario teror mancanegara. Akan menentukan bantuan kursus anti-teror. Kata
kunci, lema ‘radikal’ muncul pada:
BAB VIIA
PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA TERORISME
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 43A
(1)
Pemerintah wajib
melakukan pencegahan Tindak Pidana Terorisme.
(2)
Dalam upaya pencegahan
Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus
menerus yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip
kehati-hatian.
(3)
Pencegahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. kesiapsiagaan nasional;
b. kontra radikalisasi; dan
c. deradikalisasi.
Lanjut plus loncat simak:
Pasal 43C
(3)
Kontra radikalisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung atau tidak
langsung melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi.
Yang dimaksud dengan "kontra narasi, kontra propaganda,
atau kontra ideologi" adalah berbagai upaya untuk melawan paham radikal Terorisme dalam
bentuk lisan, tulisan, dan media literasi lainnya.
Tambah pengetahuan. Lengkap adab melek hukum
agar tak masuk kategori gagal paham, kita simak UU RI Nomor 7 tahun 2012
tentang Penangan Konflik Sosial. Standar umum, awali asupan isian ilmu dengan
fokus menyimak Pasal 1 angka 1 :
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik,
adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok
masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas
yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu
stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.
Agar tidak sekedar tahu saja sudah
cukup. Perdalam simak pasal, lanjut ke:
Pasal 5
Konflik dapat bersumber
dari:
a.
permasalahan yang berkaitan dengan
politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b.
perseteruan antarumat beragama
dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c.
sengketa batas wilayah desa,
kabupaten/kota, dan/atau provinsi;
d.
sengketa sumber daya alam
antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau
e.
distribusi sumber daya alam yang
tidak seimbang dalam masyarakat.
Jadi kalau pemerintah
sebagi pihak yang membuat UU dan produk turunannya tidak bisa mempraktikkan. Wajar
bin masuk nalar, pakai jurus tebang pilih. Artinya, pemerintah memilah dan atau
memilih pihak mana yang akan ditebang. Jadi obyek tebang di tempat. Menghadapi pihak
di depan mata, gerakan nyata maupun terselubung, mendadak pedang keadilan tumpul,
mandul. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar