aksi rakyat nusantara
maunya, mengisi ruang kosong peradaban vs menyambung mata rantai kemanusiaan
Kata kunci ‘rakyat’ baru
bermartabat jika menjad frasa ‘wakil rakyat’. Dibunyikan dalam wujud
‘kedaulatan rakyat’, banyak pihak alergi, antipati dan sebagai cikal bakal
penggunaan lema ‘radikal’ tanpa akal. Mirip obat generic yang cespleng untuk
jenis penyakit rakyat: pusing, pening, sakit kepala, mumet.
Penyakit rakyat jauh
makna dengan penyakit masyarakat utawa pekat. Dampak nyata penyakit politik
terhadap kehidupan rakyat. Pihak berwajib, berwenang masih belum merilis
maklumat dengan model indeks apa pun namanya. Tahu-tahu, akibat efek domino globalisasi
membuat Pemerintah salting. Atau sebaliknya, punya dalih, alasan masuk akal
untuk banyak tingkah.
Dimodali penggunaan
kata: radikal, fundamentalis, militan, ekstrimis, fanatisme, teror, horor, makar,
ujaran kebencian, provokasi, separatis, penebar dan penabur berita fasik dan selanjutnya. Tanpa buka kamus
bahasa. Malah buka kamus politik lokal. Ditambah dengan atau hasilnya: olok-olok
politik.
Agar gagal paham tak
semangkin mengakar mewujud sebagai paham baru. Maka daripada itu simak Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009, tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Akan didapat:
dasar Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian
kiri bawah perisai;
Mata rantai bulat yang berjumlah 9
melambangkan unsur perempuan, mata rantai persegi yang berjumlah 8 melambangkan
unsur laki-laki. Ketujuh belas mata rantai itu sambung menyambung tidak terputus
yang melambangkan unsur generasi penerus yang turun temurun.
Ternyata, penguasa juga
punya skenario terselubung. Jika rakyat tahan lapar, kuat dukung beban derita.
Tidak demikian halnya dengan rakyat yang daya belanjanya tergantung gaji. Jika
kran ‘rezeki’ diblokade, bisa mati kutu. Mau main kutu loncat, pindah ke
profesi apa.
Jadi . . . [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar