Halaman

Minggu, 10 November 2019

ora duwé karep, nanging akéh pangarep-arep


ora duwé karep, nanging akéh pangarep-arep

Lepas siapa pelaku tunggal. Kapan dan dimana kejadian perkara. Tiap daerah punya acara mirip. Putra-putri asli daerah berlomba masuk jajaran elite lokal. Modal tampang garang memelas. Raut paras digaya-gayakan adem, kalem, aleman nanging geleman. Karakter wayang kalah bersaing dengan watak manusia di panggung politik.

Malah bicara politik. Cara mudah untuk menggiring minat pemirsa. Minimal mereka sudah punya persepsi di atas rata-rata. Pengguna aktif produk unggulan berbasis TIK menjadi merasa cepat modern. Agar cepat diterima di lingkungan atas. Kembali menggunakan bahasa pra-sejarah. Olok-olok politik menjadi hal biasa, menu harian selain menggonggong, menyalak, mbaung.

Tujuan yang sama. Kue nasional yang berharap pun antrian entah berapa periode. Gerak kaki tangan sudah tidak sinkron. Aksi kaki kanan dengan kaki kiri sudah tidak sinergis. Tangan kanan mencurigai operasi senyap tangan kiri. Kerja telinga dan mata bersifat independen. Hanya pantat yang masih kompak.

Manusia berakal sehat kian tidak sehat jiwa. Akal mengajak apa, namun tindakan nyata jauh beda. Jaga keseimbangan diri. Tangan ngeplang ke kanan, biar dikira mau belok ke kanan. Main tipu gaya anak jalanan atau sopir tembak. Bak emak-emak naik motor. Sign ke kanan nyala, diharapkan jangan ada yang main salib. Niat mata mau belok ke kiri.

Itulah kehidupan. Kesempatan kata mbah-mbah, hanya datang sekali. Setelah itu yang ada mana sempat. Hari esok penuh harapan. Jadi. Jangan berharap, terlalu berharap. Memberi harapan tanpa harapan. Memutus harapan orang lain.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar