ora duwé karep, nanging akéh pangarep-arep
Lepas siapa pelaku
tunggal. Kapan dan dimana kejadian perkara. Tiap daerah punya acara mirip. Putra-putri
asli daerah berlomba masuk jajaran elite lokal. Modal tampang garang memelas. Raut paras digaya-gayakan adem, kalem, aleman nanging geleman.
Karakter wayang kalah bersaing dengan watak manusia di panggung politik.
Malah bicara politik. Cara
mudah untuk menggiring minat pemirsa. Minimal mereka sudah punya persepsi di
atas rata-rata. Pengguna aktif produk unggulan berbasis TIK menjadi merasa cepat
modern. Agar cepat diterima di lingkungan atas. Kembali menggunakan bahasa
pra-sejarah. Olok-olok politik menjadi hal biasa, menu harian selain
menggonggong, menyalak, mbaung.
Tujuan yang sama. Kue nasional
yang berharap pun antrian entah berapa periode. Gerak kaki tangan sudah tidak
sinkron. Aksi kaki kanan dengan kaki kiri sudah tidak sinergis. Tangan kanan
mencurigai operasi senyap tangan kiri. Kerja telinga dan mata bersifat
independen. Hanya pantat yang masih kompak.
Manusia berakal sehat
kian tidak sehat jiwa. Akal mengajak apa, namun tindakan nyata jauh beda. Jaga keseimbangan
diri. Tangan ngeplang ke kanan, biar dikira
mau belok ke kanan. Main tipu gaya anak jalanan atau sopir tembak. Bak emak-emak
naik motor. Sign ke kanan nyala, diharapkan jangan ada yang main salib. Niat mata
mau belok ke kiri.
Itulah kehidupan. Kesempatan
kata mbah-mbah, hanya datang sekali. Setelah itu yang ada mana sempat. Hari esok
penuh harapan. Jadi. Jangan berharap, terlalu berharap. Memberi harapan tanpa
harapan. Memutus harapan orang lain.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar