pilpres 2024, sistem
kelompok umur
Orang gila saja paham. Bahwasanya
main politik di nusantara, tidak perlu orang waras. Tak perlu pakai akal sehat,
tak perlu modal otak encer, tak butuh jiwa tenang maupun tak usah punya raga
prima. Sebegitukah. Yang terdeteksi kacamata awam atau tinggal pirsa di media
apa pun. Mulai manusia politik sekaliber petugas partai sampai tukang keplok,
juru sorak. Merasa layak diri memunculkan diri dengan modus apapun.
Gayung bersambut. Tak bertepuk sebelah mata. Walau
berkedip sebelah mata. Praktik demokrasi, pendidikan politik, sistem rekrutmen dan
pembibitan kader, sampai keberlanjutan paham
‘nasakom’ menyuburkan paket politik lima tahunan. Kekuasaan bisa
diwariskan liwat jalur anak cucu ideologis.
Lagu lama teranyarkan,
politik sebagai agama bumi. Mampu mensejahterakan elite parpol. Metraih nikmat
dunia berkat kendaraan politik yang tak kenal medan. Dinamika persaingan bebas
akibat pemain tiban dari angkatan aktif maupun mantan atau purna.
Sebaran parpol hanya
sebagai syarat pendirian dan syarat administrasi ikut pesta demokrasi. Beda
dengan penguasaan teritorial eks-ABRI. Rezim politik presiden ke-7 RI, kian
menambah kursi khusus pati. Sesuai jumlah bintang di pundak. Birokrasi militer
gemuk, luber di atas. Kurang kursi, bisa masuk birokrasi sipil.
Kawanan politisi sipil kebanci-bancian
memakai jurus “belum meminang sudah menimang”. Merasa membesarkan pembesar,
pejabat publik, penyelenggara negara. Ramuan politik kemasan praktis,
menjadikan manusia politik menjadi setengah manusia. Mengadang-gadang siapa
saja yang layak jadi capres 2014.
Rakyat menjadi kian
sulit tertawa getir. Saatnya ganti kulit. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar