penyakit politik
nusantara, kriminalisasi vs radikalisasi
Ada seyogyanya. Andai aneka menu partai politik di
nusantara, dibandingkan, disandingkan, ditandingkan dengan partai yang ada di
dunia: komunis, demokrat, republik, buruh, sosialis, ultrakanan, nasionalis, kulit
putih, pemerintah, oposisi, liberal, sayap kiri-radikal, front rakyat, kapitalis kanan, kiri modern, kanan-tengah,
radikal bebas, sipil moderat, dan sebangsanya.
Layak diduga, pantas disangka, patut dikira
bahwasanya nusantara akan lepas dari stigma, label negara berkembang. Bahkan dalam
pasal tertentu, didaulat sebagai perintis, pelopor, pioner. Derajat tertentu
sebagai model utama, kiblat, rujukan mendasar. Bukan karena Pancasila
dijabarkan, diutarakan sampai detil, njlimet.
Nusantara menjadi tempat berguru, menuntut ilmu, menguras
ilmu, sumber pengetahuan ‘ilmu politik’, pustaka hidup. Hebatnya lagi, tiap
lima tahun sekali atau jelang pemilu, spesialis ilmu, bobot ilmu bertambah. Bahkan
bisa langsung serap ilmu ke pelaku utama yang masih hidup. Atau kepada anak
cucu ideologis. Tersedia paker komplit, lengkap dengan instrukturnya.
Jadi jangan heran. Nusantara sengaja tak menyediakan
diktat, alat peraga. Maunya kirim guru berikut tim dalam paket bebas ke negara
pemesan. Kursus singkat – tapi bukan diskursus – dengan sistem paker kejar. Menu
revolusi mental terselubung, operasi senyap, spionase kontra spionase, subversi
gaya baru dan terima pasal dadakan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar