Halaman

Senin, 11 November 2019

penyakit politik nusantara, kriminalisasi vs radikalisasi


penyakit politik nusantara, kriminalisasi vs radikalisasi

Ada seyogyanya. Andai aneka menu partai politik di nusantara, dibandingkan, disandingkan, ditandingkan dengan partai yang ada di dunia: komunis, demokrat, republik, buruh, sosialis, ultrakanan, nasionalis, kulit putih, pemerintah, oposisi, liberal, sayap kiri-radikal,  front rakyat, kapitalis kanan, kiri modern, kanan-tengah, radikal bebas, sipil moderat, dan sebangsanya.

Layak diduga, pantas disangka, patut dikira bahwasanya nusantara akan lepas dari stigma, label negara berkembang. Bahkan dalam pasal tertentu, didaulat sebagai perintis, pelopor, pioner. Derajat tertentu sebagai model utama, kiblat, rujukan mendasar. Bukan karena Pancasila dijabarkan, diutarakan sampai detil, njlimet.

Nusantara menjadi tempat berguru, menuntut ilmu, menguras ilmu, sumber pengetahuan ‘ilmu politik’, pustaka hidup. Hebatnya lagi, tiap lima tahun sekali atau jelang pemilu, spesialis ilmu, bobot ilmu bertambah. Bahkan bisa langsung serap ilmu ke pelaku utama yang masih hidup. Atau kepada anak cucu ideologis. Tersedia paker komplit, lengkap dengan instrukturnya.

Jadi jangan heran. Nusantara sengaja tak menyediakan diktat, alat peraga. Maunya kirim guru berikut tim dalam paket bebas ke negara pemesan. Kursus singkat – tapi bukan diskursus – dengan sistem paker kejar. Menu revolusi mental terselubung, operasi senyap, spionase kontra spionase, subversi gaya baru dan terima pasal dadakan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar