radikalisasi politisi
sipil nusantara, belum cukup umur vs cepat matang luar
Demokrasi yang mana
dimana tumbuh di nusantara. Cuma hidup dan berbuah jelang pesta demokrasi.
dimeriahkan atau dimulai di pilkades yang agak bebas intervensi partai politik.
Pilkada serentak yang mengacak-acak hakikat koalisi parpol pro-pemerintah. Kader
parpol lokal kalah garang dengan elite lokal.
Pada 9 Desember 2015,
Indonesia mencatat sejarah baru dengan dilaksanakannya Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota, serta Bupati dan Wakil Bupati yang
disebut Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada secara serentak. Pilkada digelar
di 269 daerah, terdiri dari 9 provinsi untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur,
36 kota untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota serta 224 kabupaten untuk
memilih Bupati dan Wakil Bupati.
Promo plus sosialisasi. Kesuksesan
sebuah bangsa terletak pada pemimpinnya. Jangan sampai salah pilih. Walau kenyataan
terjadi sistem salah pilah cikal bakal pemimpin dan atau wakil rakyat. .
Globalisasi arus
informasi, ‘pilih kucing dalam karung’ sudah usang. Profil sang kucing sudah
bisa dibaca dengan benderang. Fakta bahwa Bumbung Kosong
– seperti yang terjadi dalam pemilihan kepala desa jika hanya ada satu calon
saja – akan jadi solusi mengatasi calon tunggal pilkada serentak.
Jika saat pilpres 2019, muncul pasangan 03, dipastikan
akan berdaya tarik. Keisengan anak bangsa pribumi nusantara tak akan dijumpai
di negara maju. Bak anak-anak berebut satu mainan. Pakai prinsip, walau adu
kuat, pokoknya tak ada satu pihak yang akan memilikinya. Tak ada yang menang
sekaligus tak ada yang kalah. Seri juga tidak. Jelas sama-sama rugi dan
sama-sama untung.
Timnas sepak bola, sudah ditolong dengan sistem kelompok
umur. Jangan-jangan nanti batas umur menjadi penentu. Mungkin dan berpeluang
potensial. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar