langkah politis memberlakukan sistem karier tidak berlaku
Ingat semboyan “politik membangun bangsa”. Praktiknya menjadkan politik adalah
segala-galanya. Pola lama yang selalu teranyarkan, politik sebagai panglima,
demi tujuan politik menghalakna segala modus, aneka cara. Ora doyan parpol, oncat saka NKRI. Ujar mbokdé Mukiyo. Yang merasa pancasilais cespleng,
tulen, total, bertahan.
Maka daripada itu,
sepasang pantat manusia politik nusantara sedemikiannya. Maunya duduk lama. Tidak
hanya diperpanjang, kalau bisa dipertinggi. Lebih dari itu, bilamana dibutuhkan
maka sepasang pantat langsung menduduki dua tiga kursi sekaligus.
Demikian judulnya “asu mbalèni piringé vs
panguwasa mbélani kursiné”. Diadop dari kisah nyata, bahwasanya barangsiapa mau main politik. Jangan
setengah-setengah. Yang jelas-jelas. Apa maunya vs maunya apa. Jangan malu,
ragu, sungkan ataupun bertenggang rasa. Plus harus aksi pandai-pandai. Wajib
serba mégatéga, anéka mégatéga.
Kecerdasan alami mereka
bersifat spontan, reaktif. Mulai yang “tak pakai lama vs tidak perlu mikir” hingga
“daya dong rendah vs telat mikir”. Salah kawan. Justru daya dong mereka jauh di
atas rata-rata nasional. Belum disuruh sudah berbuat. Belum diminta sudah
memberi. Belum ditanya sudah menjawab. Belum ditodong sudah menodong duluan. Belum
dipukul sudah menyepak. Pokoknya serba belum-belum.
Main politik
didefinisikan sebagai modus konstitusional, pasal legal untuk merebut,
mempertahankan, merebut kembali kekuasaan penyelenggara negara. Seberapa konstitusionalnya.
Bisa berbanding lurus dengan anggaran demokrasi. Bisa-bisa bisa biaya politik
dari sumber berbagai sumber yang berperhitungan. Akan menentukan langkah
konstitusional sang juara.
Lazim di negara yang
gemar berkembang. Juara umum pesta demokrasi pasti akan memborong semua kursi. Tak
terkeculali kursi cadangan. Setelah daripada itu dipastikan akan muncul daripada
kebijakan anti-kemapanan.
Niat memangkas eselon
birokrasi di K/L/D/I. Memangkas tentunya dari atas. Artinya, memperbanyak
jabatan sesuai beban tugas, beban kerja dan risiko jabatan. Ikhwal ini berlaku
di kalangan militer. Adalah reformasi birokrasi militer. Soal di luar norma
kepatutan struktur organisasi militer di dunia mana pun. Koq jadi merambah ke
birokrasi militer. Tak apa. Sebagai bukti politisi sipil kurang garang. Kalah pamor
dengan sistem pertahanan keamanan.
Singkat kata. Tanpa
bermaksud menyingkat olahkata. Sadar politik anak bangsa sudah berjilid.
Kehendak sejarah bahwasanya adab bernegara sudah masuk stadium tak beradab.
Makanya, negara asing merasa takjub dengan pesona politik Nusantara.
Jabatan politis terdapat
di birokrasi sipil maupun birokrasi militer. Mau tiket terusan harus
pandai-pandai ikut arus politik penguasa. Terbuka nyata bahwa aktor non-negara
bisa menentukan nasib politik bangsa. Sejatinya, manusia politik nusantara adalah warga negara klas II. Di bawah
kasta manusia ekonomi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar