nusantara sebatang kara
di haribaan ibu Pertiwi
Saking sering
terbiasanya rakyat dengan perubahan sistem nilai dan skema sosial yang terjadi
setiap saat. Narasi historis disesaki dengan fakta pejabat provinsi sibuk
dengan tawuran pelajar, konflik antar fans klub sepak bola. Bahkan petinggi
sipil maupun pembesar militer, merasa berkesempatan muncul di media massa.
Akhirnya, media massa,
media sosial, media atau sarana pengganda kabar fasik, menjadi ajang penyaman
dan penghibur masa depan. Banyak pihak dari kalangan penduduk merasa punya
harga bersama kawanan seahli sebagai penebar dan penabur olok-olok politik. Sambil
dudul manis bisa sebagai biang peretak bangsa. Tanpa sadar tentunya. Terkungkung
oleh simbol peradabans semu.
Kendati terjadi adu gemulai antar elite
politik lokal. Daya jangkau, jelajah dan kerapan sebatas teritorial kelokalan. Tataran
lokal yang merasa aman di ketiak pihak lain. Bak titik panas di kawasan
karhutla.
Nusantara menampilkan
peta politik dengan notasi aneka wilayah konflik. Pertama. Korban psikis sebagai akibat proses Kebebasan Sipil (Civil
Liberty) dalam mewujudkan internalisasi budaya kekerasan akibat beda
pilihan. 2. Pembelahan/segregasi masyarakat pengguna hak politik berdasarkan
garis warna pilihan.
Praktik demokrasi
nusantara mau tak mau terjebak untuk diapresiasi sebagai teror dan horor. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar