kisah si pandir jenaka
menjadi pahlawan politik
Seandainya diangkat dari kisah nyata. Perlu lomba
cari pelaku unggul. Bukan monopoli sebuah parpol. Bukan hak milik perorangan
walau kisahnya menjadi acuan nasional. Masih, sedang terjadi dan akan terjadi dengan
peristiwa yang lebih. Cikal bakal saja sudah antri.
Batasan waktu. Praktis untuk daya pengingatan
setara anak manusia pribumi nusantara. Paket reformasi yang dimulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998. Kasus yang muncul dipermukaan, hanya sebagian kecil. Bukan
luput dari pengendusan awak media. Khalayak masih awal dan awam.
Adab bermasyarakat, berbangsa, bernegara masih
orisinil, asli, tulen, bawaan sejak lahir. Belum terkontaminasi. Dalam hitungan
waktu, argo politik bak kuda liar. Arus demokrasi bocor dimana-mana. Arus pendek,
sumbu pendek menjadi cara dan ciri manusia politik.
Ajaran bersifat khas. Namun yang namanya kejelekan
cepat, gampang menular.
Betul. Bukan monopoli sebuah parpol. Antara parpol
zaman .nasakom. dengan parpol dadakan, khusus ikut pemilu. Soal cari panggung tak
ada beda gaya. Tak dapat kursi DPR RI. Sejelek-jeleknya masih nyangkut di kursi
DPR kabupaten/kota. Caleg modal keringat kakek nenek moyang. Nilai jual, nilai
tukar dari berbagai aspek. Kader jenggot
adu nyali, adu gengsi melawan kader tiban. Biaya politik menjadi andalan dan
andil gedhé.
Bagi parpol yang kelebihan pemain.
Tak salah. Bukan hak milik perorangan. Karakter caleg
diutamakan dengan pola dan gaya pemakan segala. Sistem rekrutmen sudah menjadi
fakta. Kode etik, oknum atau caleg sebagai pemodal. Langsung masuk jajaran
elite partai atau dapat nomor jadi. Pokoknya menang.
Preman jalanan yang di zaman Orde Baru, dielus-elus
untuk pendulang suara. Karena tahu diri, dikenai pasal meresahkan masyarakat.
masuk kategorti radikla klas gali (gabungan anak liar). Densus petrus menjadi
cara jitu pihak berwajib.
Di akar rumput naik sekian lapis. Kawanan ini
secara sadar menjadi penebar, penabur olok-olok politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar