radikal bebas antihoaks
vs kolor ijo cingkrang antimelorot
Pasca perang dingin US vs AS. Negara adidaya tidak
punya “musuh”. Mau ganyang negara komunis RRT. Kalah awu. Utang saja ke China. Maka
daripada itu dibentuklah Islamfobia dengan segala taktik. Hasilnya bisa
melanjutkan industri alat perang dan senjata pemusnah massal. Biaya riset
teknologi super canggih tetap berkibar.
Lebih daripada itu. Sistem hankam negara berkembang
sesuai skenarionya. Kendati politik luar negeri NKRI bebas aktif. Nilai tawar
maupun “Indeks Citra Positif Indonesia di Dunia Internasional”, tetap sesuai
arus kuat. Peningkatan kesaktian, kedigdayaan, kanuragan alat negara sampai
mencari guru di negeri orang. Pakai hukum timbal-balik. Doktrin dan
indoktrinasi jangan. Sama-sama diuntungkan. Cuma beda proporsi dan porsi.
Ketika di nusantara sudah aman dan damai. Taktik gerilya
bukannya lantas ditinggalkan, apalagi ditanggalkan. Perang kota dimodifikasi. Musuh negara di dalam negeri menjadi. Penguasa
punya dalil aksi tandingan, agar tampak dukungan publik, kepercayaan rakyat
masih ada.
Ditambah pendapat media asing yang menyalurkan angin
surga. Lembaga survei tanpa survei, berbayar lagi, survei membuktikan
bahwasanya kredibilitas, popularitas masih di batas aman.
Aksi tandingan bukan sekedar dalam bentuk unjuk
raga, unjuk rasa. Penguasaan media massa sebagai ajang penabur dan penebar
fitnah dunia. Gembala penyesat vs gembala penghasut, sigap 24 jam dan bak
penyedia jasa. Aksi teror dibalas teror. Pokoknya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar