Halaman

Jumat, 08 November 2019

lebih baik terlambat ketimbang telat


lebih baik terlambat ketimbang telat

 Betul juga bahwasanya bahasa itu masalah rasa. Legitimasi ber-bahasa secara langsung membutuhkan rasa hati di atas rata-rata derajat manusia. Para peolok-olok politik dikarenakan figur hati – sesuai stabilitas sinergi jiwa-raga – tak tergantung umur atau usia. Lebih dari itu, kadar keilmuan, keahlian, spesialisasi tak berpengaruh.

Resultan, hasil kombinasi antara rangakain jiwa yang tenang dengan tatanan raga prima, menghasilkan manusia seutuhnya. Terkisahkan bahwa macam jiwa manusia, mulai dari nafs ammarah (jiwa yang selalu menyuruh pada kejahatan), nafs lawwamah (jiwa yang selalu menyesali) sampai nafs muthmainnah (jiwa yang tenang).

Bangsa suku Jawa, tahu luar dalam makna watak aluamah alias hawa nafsu. Apalagi apa yang dimaksud dengan lema ‘jiwa’. Hawa nafsu, secara asumsi sejarah bahasa berawal dari kaum adam bernafsu jika melihat kaum hawa, lawan jenis.

Anuraga – terkesan dengan lema ‘raga’ – diartikan sebagai andhap asor alias rendah hati. Jangan salah tafsir bahwa ‘tegar hati’ identik dengan ‘keras kepala’. Derajat tertentu, identik dengan ‘degil’, ‘dhagel’.

Seperti menyimpang dari judul. Sengaja. Pemirsa perlu pembekalan diri untuk merasuk ke lubuk hati. Lema ‘jiwangga’ bukti bahwa masyarakat nusantara memadukan jiwa-rawa menjadi satu kesatuan yang utuh, bulat.

Lema ‘lambat’ sudah berkonotasi kurang menuntungkan. Ditambah awal ‘ter’ yang biasa dianggap sebagai ‘lebih’. Namun, sebagai proses waktu, lebi baik daripada diam diri. Lema ‘lélét’ menjadi fenomenal untuk mawas diri.

Makan telat vs telat makan. Bukan masalah tata letak kata sesuai hukum DM.

Maka daripada itu, bergegas, bersegera, berawal sejak dini. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar