lebih baik terlambat ketimbang telat
Betul juga
bahwasanya bahasa itu masalah rasa. Legitimasi ber-bahasa secara langsung
membutuhkan rasa hati di atas rata-rata derajat manusia. Para peolok-olok
politik dikarenakan figur hati – sesuai stabilitas sinergi jiwa-raga – tak
tergantung umur atau usia. Lebih dari itu, kadar keilmuan, keahlian,
spesialisasi tak berpengaruh.
Resultan, hasil kombinasi antara rangakain jiwa yang
tenang dengan tatanan raga prima, menghasilkan manusia seutuhnya. Terkisahkan bahwa
macam jiwa manusia, mulai dari nafs ammarah (jiwa yang selalu menyuruh
pada kejahatan), nafs lawwamah (jiwa yang selalu menyesali) sampai nafs
muthmainnah (jiwa yang tenang).
Bangsa suku Jawa, tahu luar dalam makna watak aluamah
alias hawa nafsu. Apalagi apa yang dimaksud dengan lema ‘jiwa’. Hawa nafsu,
secara asumsi sejarah bahasa berawal dari kaum adam bernafsu jika melihat kaum
hawa, lawan jenis.
Anuraga – terkesan dengan lema ‘raga’ – diartikan sebagai andhap
asor alias
rendah hati. Jangan salah tafsir bahwa ‘tegar hati’ identik dengan ‘keras
kepala’. Derajat tertentu, identik dengan ‘degil’, ‘dhagel’.
Seperti menyimpang dari judul. Sengaja. Pemirsa perlu
pembekalan diri untuk merasuk ke lubuk hati. Lema ‘jiwangga’ bukti bahwa masyarakat
nusantara memadukan jiwa-rawa menjadi satu kesatuan yang utuh, bulat.
Lema ‘lambat’ sudah berkonotasi kurang menuntungkan. Ditambah
awal ‘ter’ yang biasa dianggap sebagai ‘lebih’. Namun, sebagai proses waktu,
lebi baik daripada diam diri. Lema ‘lélét’ menjadi fenomenal
untuk mawas diri.
Makan telat vs telat makan. Bukan masalah tata letak kata
sesuai hukum DM.
Maka daripada itu, bergegas, bersegera, berawal sejak
dini. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar