olok-olok politik vs perang pemikiran
Dogma, stigma sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa lain. Apapun sebut
tetap sampai mewaris ke anak cucu ideologis. Kendati otak sudah disejajarkan
dengan negara maju. Sudah takdir sejarah, bahwasanya mental pengekor, pengikut,
kawanan pendérék panguwasa menjadi profesi terhormat.
Anak bangsa pribumi nusantara penyandang gelar akademis, tak serta merta
olah akal. Dilakukan untuk menyiasati orang lain, pihak lain demi kepentingan
diri, komunitas senasib sepenanggungan. Jelasnya bukan sekedar konsumtif fanatik,
loyal. Pengguna setia yang siap pasang badan.
Secara ekonomi bukan masuk kasta orang susah. Namun daya, tingkat, kadar
olah akal masuk kategori sedikit di bawah garis kebodohan. Akumulasi tak mau
susah-susah mikir. Tak mau berkeringat. Gengsi dengan gelar akademis masih
harus peras keringat. Merasa ujung jari tangan sedemkian berharga.
Berawal kemudahan pola ‘copas’ masuk ke semua
lini kehidupan. Akhirnya, merasa mampu melihat orang yang berpikir sebagai
manusia bodoh. Lupa diri sebagai manusia bebal sesuai versi lokal. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar