Halaman

Sabtu, 16 November 2019

olok-olok politik vs perang pemikiran


olok-olok politik vs perang pemikiran

Dogma, stigma sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa lain. Apapun sebut tetap sampai mewaris ke anak cucu ideologis. Kendati otak sudah disejajarkan dengan negara maju. Sudah takdir sejarah, bahwasanya mental pengekor, pengikut, kawanan pendérék panguwasa menjadi profesi terhormat.

Anak bangsa pribumi nusantara penyandang gelar akademis, tak serta merta olah akal. Dilakukan untuk menyiasati orang lain, pihak lain demi kepentingan diri, komunitas senasib sepenanggungan. Jelasnya bukan sekedar konsumtif fanatik, loyal. Pengguna setia yang siap pasang badan.

Secara ekonomi bukan masuk kasta orang susah. Namun daya, tingkat, kadar olah akal masuk kategori sedikit di bawah garis kebodohan. Akumulasi tak mau susah-susah mikir. Tak mau berkeringat. Gengsi dengan gelar akademis masih harus peras keringat. Merasa ujung jari tangan sedemkian berharga.

Berawal kemudahan pola ‘copas’ masuk ke semua lini kehidupan. Akhirnya, merasa mampu melihat orang yang berpikir sebagai manusia bodoh. Lupa diri sebagai manusia bebal sesuai versi lokal. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar