Halaman

Minggu, 26 April 2020

tua di jalan plus tradisi religius tahunan


tua di jalan plus tradisi religius tahunan

Ketupat sebagai simbul silaturahmi, ikatan moral dan mental religi, saling memaafkan. Karena dosa manusia ke manusia lainnya, agar kembali ke atau mulai angka “0” (nol), harus minta maaf kepada ybs. Barulah Allah SWT akan mengampuni dosa kita. Alhamdulillah.

Justru dengan ada tradisi mudik, lebaran syawal maupun tahun baru, menjadi faktor penentu kebijakan pemerintah. Program dan kegiatan stabilisasi jalan raya maupun peningkatan jasa layanan moda angkutan.

Istilah bahasa Jawa ‘dilajo’ artinya pergi ke suatu tempat dengan pola pergi pulang dalam sehari. Tidak menginap. Beda dengan modus sopir truck antar provinsi. ‘Ngaso, mampir’, tersedia jasa warung remang-remang.

Para pencari nafkah, wanita karier atau sebutan semaksud. Tinggal di kota penyangga ibukota negara, kerja di Jakarta. Jarak tempuh masih layak. Cuma waktu tempuh dengan mobil pribadi maupun kendaraan umum, tak sebanding. Lebih cepat dengan pemotor. Tak perlu heran jika parkir motor bertingkat di kementerian yang menggarap jalan dan jembatan.

Budaya, adat, tradisi mudik pulang-kampung semakin mewujudkan silaturahmi. Ingat lingkungan tempat kelahiran. Kembali ke jati diri sebagai makhluk sosial. Mempererat ukhuwah dan solidaritas sebagai anak bangsa yang merdeka.

Nglumpuké balung pisah, pepatah Jawa yang berlaku nasional. Lebur tanpa ada batas kasta, strata sosial,  status ekonomi, warna polirik. Saudara tetap saudara. Disinyalir, lebaran dorong perbaikan ekonomi. Pemacu dan pemicu perputaran uang di daerah tujuan mudik.

Sisa hidup untuk mencari modal pulang kampung akhirat. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar