praktik semu demokrasi
multipartai
Nusantara terjebak dominasi motif politik nasional bebas
melalui legitimasi pada proses legislasi. Pasal yang muncul aneka versi, sesuai
skenario global. Hak inisiatif kedua belah pihak kalah pamor dengan gaya
intervensi, daya agresi, modus intimidasi, asas kendali mutu pihak
tertentu.
Baik atau buruk; benar
atau salah; betul atau keliru; bagus atau buruk berdasarkan demokrasi adalah
ditentukan suara terbanyak, mayoritas. Secara aklamasi, voting atau adu suara. Terlebih
untuk kepentingan penguasa. Bukan sesuai ketentuan agama, norma, tradisi moral
yang berlaku di masyarakat.
Jualan nasib rakyat menjadi dalil partai politik berbasis
‘sama rasa, sama rata’. Rembesan jargon ‘politik sebagai panglima’, semboyan
‘tujuan menghalalkan segala cara’, moto ‘pokoké menang’ diperkuat per periode
atau per presiden. Lagu lawas ‘politik sebagai agama dunia’ melahirkan mental
kebijakan partai di atas segala-galanya. Laksanakan atau keluar dari NKRI.
Oknum ketua umum penyandang hak prerogatif agar tampak wibawa diri.
Praktik demokrasi atau yang terjadi di lapangan bahkan
istana, yaitu kedaulatan adalah kekuasaan menjalankan negara dan berada di
tangan penguasa. Rakyat sudah melimpahkan hak kedaulatan ke tangan wakil
rakyat, kepala daerah, kepala negara meliwati pola pemilihan langsung.
Demokrasi apapun maksudnya, yang ada di nusantara bukan
sistem. Tepatnya bak dinding pemisah antar periode pemerintah. Selaku
penjaring, penyaring; pemilah, pemilih partai politik yang laik laga di pesta
demokrasi lima tahunan. Bak kapal besar liwat terusan, kanal. Pola buka tutup.
Antar demokrasi tampak profil lapisan partai sesuai
raihan suara. Partai gurem di lapisan dasar. Parpol dadakan bisa raih suara
wakil rakyat semua atau sebagian tingkatan.
Jurus sakti ingin demokratis, tambah partai politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar