Halaman

Senin, 27 April 2020

praktik semu demokrasi multipartai

praktik semu demokrasi multipartai

Nusantara terjebak dominasi motif politik nasional bebas melalui legitimasi pada proses legislasi. Pasal yang muncul aneka versi, sesuai skenario global. Hak inisiatif kedua belah pihak kalah pamor dengan gaya intervensi, daya agresi, modus intimidasi, asas kendali mutu pihak tertentu. 

Baik atau buruk;  benar atau salah; betul atau keliru; bagus atau buruk berdasarkan demokrasi adalah ditentukan suara terbanyak, mayoritas. Secara aklamasi, voting atau adu suara. Terlebih untuk kepentingan penguasa. Bukan sesuai ketentuan agama, norma, tradisi moral yang berlaku di masyarakat.

Jualan nasib rakyat menjadi dalil partai politik berbasis ‘sama rasa, sama rata’. Rembesan jargon ‘politik sebagai panglima’, semboyan ‘tujuan menghalalkan segala cara’, moto ‘pokoké menang’ diperkuat per periode atau per presiden. Lagu lawas ‘politik sebagai agama dunia’ melahirkan mental kebijakan partai di atas segala-galanya. Laksanakan atau keluar dari NKRI. Oknum ketua umum penyandang hak prerogatif agar tampak wibawa diri.

Praktik demokrasi atau yang terjadi di lapangan bahkan istana, yaitu kedaulatan adalah kekuasaan menjalankan negara dan berada di tangan penguasa. Rakyat sudah melimpahkan hak kedaulatan ke tangan wakil rakyat, kepala daerah, kepala negara meliwati pola pemilihan langsung.

Demokrasi apapun maksudnya, yang ada di nusantara bukan sistem. Tepatnya bak dinding pemisah antar periode pemerintah. Selaku penjaring, penyaring; pemilah, pemilih partai politik yang laik laga di pesta demokrasi lima tahunan. Bak kapal besar liwat terusan, kanal. Pola buka tutup.

Antar demokrasi tampak profil lapisan partai sesuai raihan suara. Partai gurem di lapisan dasar. Parpol dadakan bisa raih suara wakil rakyat semua atau sebagian tingkatan.

Jurus sakti ingin demokratis, tambah partai politik. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar