Halaman

Sabtu, 11 April 2020

kudu kamitégan yèn arep éntuk pilenggahan


kudu kamitégan yèn arep éntuk pilenggahan

Globalisasi pandemi virus persaingan hidup antara manusia. Tak pandang orang tua, saudara, kerabat mapun cuma sebatas kawan separtai.

Kakéhan sing édan tenan. Politik tanpa akhlak dan atau akhlak tanpa politik.  Sejatinya politik berjalan bareng dengan tegaknya pemerintah. Struktur politik kokoh mengakar ke rakyat. Bukan sekedar simbol. Siapa pun manusia politik nusantara yang memuliakan bangsanya.

Éra rezim politik anéka mégatéga, bahwasanya yang namanya ampas, turahan, korètan, sisa  saja bisa jadi ajang rebutan laga bebas.

Mental loyalis, durung ditakoni wis ngarani. Modal minimal tapi ingin hasil maksimal. Bisa terjadi. Bahkan modal abab, bisa sukses. Blantik, makelar, pialang politik atau sebutan lainnya, akhirnya menjadi berklas dalam bentuk politik transaksional.  Praktik demokrasi nusantara adalah peraih suara terbanyak, itulah si juara umum. Ditarik mundur, ternyata ada rekayasa perolehan suara. Ada bandar atau investor politik yang menentukan skore. Skenario berlapis.

Peng-inggih vs mental mukiyo. Inggih-inggih mboten kepanggih, ungkapan berbahasa Jawa krama inggil. Menunjukkan kesetiaan atau kesiapan ketika ditanya kesanggupan. Soal bisa atau tak bisa, urusan belakang. Soal tahu atau tak tahu, jawabannya sama atau disamarkan. Bukan diplomatis apalagi bahasa politik.

Bukan gambaran atau sampel watak wong Jawa. Dibutuhkan jawaban tegas, antara ‘ya’ atau ‘tidak’, cukup dengan mantuk-mantuk. Sambil berucap lirih:”Inggih . . . “ sambil kepala tertunduk menahan geli. Sikap moderat atau cari aman, tapi sudah jamak. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar