kudu kamitégan yèn arep
éntuk pilenggahan
Globalisasi pandemi virus persaingan hidup antara
manusia. Tak pandang orang tua, saudara, kerabat mapun cuma sebatas kawan
separtai.
Kakéhan sing édan tenan. Politik tanpa akhlak dan
atau akhlak tanpa politik. Sejatinya
politik berjalan bareng dengan tegaknya pemerintah. Struktur politik kokoh
mengakar ke rakyat. Bukan sekedar simbol. Siapa pun manusia politik nusantara
yang memuliakan bangsanya.
Éra rezim politik anéka mégatéga, bahwasanya yang
namanya ampas, turahan, korètan, sisa saja bisa jadi ajang rebutan laga bebas.
Mental loyalis, durung ditakoni wis ngarani. Modal
minimal tapi ingin hasil maksimal. Bisa terjadi. Bahkan modal abab, bisa
sukses. Blantik, makelar, pialang politik atau sebutan lainnya, akhirnya
menjadi berklas dalam bentuk politik transaksional. Praktik demokrasi nusantara adalah peraih
suara terbanyak, itulah si juara umum. Ditarik mundur, ternyata ada rekayasa
perolehan suara. Ada bandar atau investor politik yang menentukan skore.
Skenario berlapis.
Peng-inggih vs mental mukiyo. Inggih-inggih mboten
kepanggih, ungkapan berbahasa Jawa krama inggil. Menunjukkan kesetiaan atau
kesiapan ketika ditanya kesanggupan. Soal bisa atau tak bisa, urusan belakang.
Soal tahu atau tak tahu, jawabannya sama atau disamarkan. Bukan diplomatis
apalagi bahasa politik.
Bukan gambaran atau sampel watak wong Jawa.
Dibutuhkan jawaban tegas, antara ‘ya’ atau ‘tidak’, cukup dengan mantuk-mantuk.
Sambil berucap lirih:”Inggih . . . “ sambil kepala tertunduk menahan geli.
Sikap moderat atau cari aman, tapi sudah jamak. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar