hidup mati dari
tanah-air nusantara
Bukti nyata realisasi Pasal 33, ayat (3) UUD NRI
1945 tanpa mengalamai perubahan atau amandemen. Para pendiri bangsa sudah
memprediksi, memprakirakan akan terjadi sebaliknya. Terlebih ada pihak yang
merasa sebagai pewaris kursi notonegoro. Rakyat sekian waktu periode demi periode,
tetap menjalankan wajib sabar.
Agar tak main tebak bunyi pasal dimaksud. Tersirat
pada Pasal 33:
(3)
Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Rumusan sederhana, tak perlu keduk, keruk, ngebor
lapisan demi lapisan bumi. Cukup yang ada dipermukaan bumi. Pakai pasal
bahwasanya Indonesia adalah negara agraris. Kebutuhan makanan pokok bisa
disediakan oleh petani. Subtitusi, penganekaragaman makanan pokok, pasal
selera.
Kemandirian, ketahanan, kedaulatan pangan
menjadikan nusantara swasembada beras. Ini baru bukti, ini bukti baru. Ditambah
kebijakan dan adat lokal berupa ‘lauk daun’. Bukan karhutla. Lauk ikan segar
menjadi sajian warung rakyat di tepi pantai. Agar sampai bisa sampai pedalaman,
ikan mengalami proses kejiwaan menjadi ikan asin. Bukan ikan asing, yang dalam format
ikan kaleng.
Selingan humor politik dalam negeri. Eksodus,
migrasi ikan nusantara ke negeri tetangga. Tak usah jauh-jauh. Kekayaan laut
nusantar kesedot kapal asing berbendera Merah-Putih. Baliknya dalam bentuk
makanan siap santap.
Buah betulan, bukan buah-buahan, ikut andil
masuknya buah impor. Tepo sliro, berbagi kursi dengan kebijakan pedagang liwat
tangan pemerintah.
Tak ayal lagi, memang pasal fenomenal dimaksud, dihafal
peserta didik pada lomba cerdas-cermat-cerdik apa itu 4 pilar berbangsa dan
bernegera. Ironis binti miris, penyelenggara negara punya pasal lain yang lebih
jitu, mujarab, mustajab, cespleng yang bikin awet kursi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar