Halaman

Minggu, 05 April 2020

hidup mati dari tanah-air nusantara


hidup mati dari tanah-air nusantara

Bukti nyata realisasi Pasal 33, ayat (3) UUD NRI 1945 tanpa mengalamai perubahan atau amandemen. Para pendiri bangsa sudah memprediksi, memprakirakan akan terjadi sebaliknya. Terlebih ada pihak yang merasa sebagai pewaris kursi notonegoro. Rakyat sekian waktu periode demi periode, tetap menjalankan wajib sabar.

Agar tak main tebak bunyi pasal dimaksud. Tersirat pada Pasal 33:
(3)      Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Rumusan sederhana, tak perlu keduk, keruk, ngebor lapisan demi lapisan bumi. Cukup yang ada dipermukaan bumi. Pakai pasal bahwasanya Indonesia adalah negara agraris. Kebutuhan makanan pokok bisa disediakan oleh petani. Subtitusi, penganekaragaman makanan pokok, pasal selera.

Kemandirian, ketahanan, kedaulatan pangan menjadikan nusantara swasembada beras. Ini baru bukti, ini bukti baru. Ditambah kebijakan dan adat lokal berupa ‘lauk daun’. Bukan karhutla. Lauk ikan segar menjadi sajian warung rakyat di tepi pantai. Agar sampai bisa sampai pedalaman, ikan mengalami proses kejiwaan menjadi ikan asin. Bukan ikan asing, yang dalam format ikan kaleng.

Selingan humor politik dalam negeri. Eksodus, migrasi ikan nusantara ke negeri tetangga. Tak usah jauh-jauh. Kekayaan laut nusantar kesedot kapal asing berbendera Merah-Putih. Baliknya dalam bentuk makanan siap santap.

Buah betulan, bukan buah-buahan, ikut andil masuknya buah impor. Tepo sliro, berbagi kursi dengan kebijakan pedagang liwat tangan pemerintah.

Tak ayal lagi, memang pasal fenomenal dimaksud, dihafal peserta didik pada lomba cerdas-cermat-cerdik apa itu 4 pilar berbangsa dan bernegera. Ironis binti miris, penyelenggara negara punya pasal lain yang lebih jitu, mujarab, mustajab, cespleng yang bikin awet kursi. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar