galak lagak vs lagak
galak
Bahasa
untuk menjelaskan manusia dengan segala atribut diri, memakai kata maupun
rangkaian kata yang mirip, beda struktur perhurufan. Satu kata, dengan merubah
susunan, urutan huruf mati, bisa menghasilkan kata baru. contoh pada judul. ‘Lagak’,
huruf mati tukar tempat menjadi ‘galak’. Beda kata tapi mirip makna untuk
menggambarkan permanusiaan.
Eja,
lafal, lafaz susunan huruf dalam kata. Sedemikiannya seolah hemat, irit atau
sesuai daya lidah manusia nusantara.
Lema ‘ka-mu’
dengan lema ‘mu-ka’, ‘a-muk’, ‘ka-um’, ‘mu-ak’, modal hurufnya sama. Satu kata
yang huruf hidupnya ganti posisi, bisa beda arti. Misal ‘banting dengan ‘bintang’.
Apalagi ditukar dengan huruf hidup yang lain. Misal’bintang’ dengan ‘buntung’.
Masih ingat
‘garang’ ‘garing’. Menjadi ciri manusia yang cepat matang tanpa proses.
Peribahasa
bahasa Jawa sarat permainan kata. pakai gaya otak-atik matuk. Kejadian harian bermasyarakat
memunculkan “sengit ndulit’. Menyiratkan kehidupan berbangsa, contoh ringan ‘becik
ketitik, olo ketoro’.
Rangkaian
kata sarat makna, nyaris misteri, pada makna tertentu menjadi pratanda. Manusia
dengan bunyi bahasa yang aneh, jangan dianggap pratanda zaman. Bukti diri
bagaimana riwayat hidupnya.
Pada umumnya
binatang punya ekor, untuk penyebutan bilangan. Misal 3 ekor monyet. Lain pasal,
beda perkara dengan nasib ‘buah’. Makan buah rambutan berapa biji. 5 butir
kelapa, karena kelapa bukan buah. Padahal, ‘butir’ multi arti.
Kembali
ke ‘makan buah rambutan berapa biji’. Bisa diberlakukan pada ‘makan buah manga habis
berapa biji. Pada umunya, rambutan dan manga hanya punya satu biji. Bingung jika
dibilang ‘makan buah durian yang biji berapa’.
Bahasa
politik yang sederhana berdampak tak sederhana. Mau menceritakan kondisi
negara, keadaan nasional yang sibuk pandemi covid-19, cukup dibahasakan ‘terkendali’.
Agar tampak cerdas diri diimbuhi bahasa tubuh dan kekehan mulut plus sipitan
mata. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar