Halaman

Minggu, 26 April 2020

galak lagak vs lagak galak


galak lagak vs lagak galak

Bahasa untuk menjelaskan manusia dengan segala atribut diri, memakai kata maupun rangkaian kata yang mirip, beda struktur perhurufan. Satu kata, dengan merubah susunan, urutan huruf mati, bisa menghasilkan kata baru. contoh pada judul. ‘Lagak’, huruf mati tukar tempat menjadi ‘galak’. Beda kata tapi mirip makna untuk menggambarkan permanusiaan.

Eja, lafal, lafaz susunan huruf dalam kata. Sedemikiannya seolah hemat, irit atau sesuai daya lidah manusia nusantara.

Lema ‘ka-mu’ dengan lema ‘mu-ka’, ‘a-muk’, ‘ka-um’, ‘mu-ak’, modal hurufnya sama. Satu kata yang huruf hidupnya ganti posisi, bisa beda arti. Misal ‘banting dengan ‘bintang’. Apalagi ditukar dengan huruf hidup yang lain. Misal’bintang’ dengan ‘buntung’.

Masih ingat ‘garang’ ‘garing’. Menjadi ciri manusia yang cepat matang tanpa proses.

Peribahasa bahasa Jawa sarat permainan kata. pakai gaya otak-atik matuk. Kejadian harian bermasyarakat memunculkan “sengit ndulit’. Menyiratkan kehidupan berbangsa, contoh ringan ‘becik ketitik, olo ketoro’.

Rangkaian kata sarat makna, nyaris misteri, pada makna tertentu menjadi pratanda. Manusia dengan bunyi bahasa yang aneh, jangan dianggap pratanda zaman. Bukti diri bagaimana riwayat hidupnya.

Pada umumnya binatang punya ekor, untuk penyebutan bilangan. Misal 3 ekor monyet. Lain pasal, beda perkara dengan nasib ‘buah’. Makan buah rambutan berapa biji. 5 butir kelapa, karena kelapa bukan buah. Padahal, ‘butir’ multi arti.

Kembali ke ‘makan buah rambutan berapa biji’. Bisa diberlakukan pada ‘makan buah manga habis berapa biji. Pada umunya, rambutan dan manga hanya punya satu biji. Bingung jika dibilang ‘makan buah durian yang biji berapa’.

Bahasa politik yang sederhana berdampak tak sederhana. Mau menceritakan kondisi negara, keadaan nasional yang sibuk pandemi covid-19, cukup dibahasakan ‘terkendali’. Agar tampak cerdas diri diimbuhi bahasa tubuh dan kekehan mulut plus sipitan mata. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar