daya olahkata menembus
pasal dan batas berlapis
Produk manusia dalam bentuk apa saja. Barang bekas
berkualitas di tangan ahlinya bisa menjadi karya seni. Media massa non-mainstream
mampu melahirkan “penulis” bebas martabat. Begitu mudah anak bangsa pribumi
primit menjadi penganut; pengikut, pengekor ungkapan satu kata. Olok-olok
politik bukti sejarah terdegradasinya nilai-nilai Pancasila.
Sistem panutan dari atas, istilah “salam Pancasila”
kian membuktikan betapa kemoralan politik sudah sampai ambang batas, masuk zona
merah. Ajang adu bahasa lisan menjadi tontonan semua umur. Model anak jalanan
dikemas oleh kawanan pebisnis media layar kaca. Utamakan masukan Rp ketimbangan
bina bangsa.
Pendidikan (politik) nasional pakai gaya replikasi,
duplikasi kisah sukses kawanan politisi sipil. Masyarakat politik ASEAN sudah
menembus pasar desa. Ramuan politik global tersaji molek sebagai menu harian warung
tradisional berkerakyatan.
Pihak lain, bahwasanya sekalimat tulisan bisa
menjerat diri. Menjadi bukti ringan yang tak meringankan niat baik seseorang
yang layak disangka. Menjelma menjadi bukti sebaliknya. Tak pakai lama bermeja
hijau. Berlaku hukum tanpa pengadilan, langsung getok di tempat. Habis perkara
hemat biaya sidang.
Pengunaan satu data legal secara rombongan. Menyulitkan
pemirsa untuk menentukan siapa yang beradab di antara kawanan beradab tanpa
sebab musabab. Antara balik adab dengan beradab tak ada pasal pembeda. Samar atau
disamarkan untuk menutupi fakta lapangan. Sajian berita yang enak-enak saja. Sesuai
selera lidah penguasa atau pengusaha, penyedia jasa penabur penebar berita
fasik.
Kebencanaan sejak
manusia pertama merdeka, laku bebas tanpa batas di muka bumi sesuai sinyalir
malaikat. Klimaks kebrutalan, kebebalan manusia ketika mendustakan nabinya. Merekayasa
silsilah nabi agar tampak keren plus memanipulasi ajarannya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar