keringat nusantara pasca
olah rahang
Makan untuk hidup vs hidup untuk makan. Masalah bahasa
dan berbahasa. Tuntutan biologis tak bisa diabaikan, tak bisa dikerjakan sambil
apa saja. Manajemen waktu, mengerjakan beberapa item pekerjaan fisik tak
sejenis dalam waktu bersamaan. Itu yang baru kasat mata.
Indikator sehat, indeks manusia sehat nusantara
sulit dibakukan. Sehari perut belum ketemu nasi belum disebut makan. Beda dengan
pihak berani hidup, tahan lapar tapi mulut tak kuat menahan tak sedot asap
rokok. Soal polusi udara karena taat asas dan SOP merokok.
Makan kenyang rakyat beda jauh dengan acara santap
malam pejabat. Rakyat makan sesuap demi sesuap. Pejabat kalau sekali suap tak
kenyang, akan menyanyi. Disana kenyang, disini tak kenyang.
Pola saji cepat rumah makan membuat manusia tahu
diri. Awalnya pakai porsi standar. Filosofi “selama nasi belum turun ke perut”,
wajar masuk porsi periode kedua. Bukan sekedar tambah lauk. Minimal pakai pola
tambah “nasaku’ alias nasi, sayur, kuah. Masih punya cadangan lauk.
Profesi yang mau tak mau, berbicara adalah bekerja.
Pas untuk seniman tarik suara langgam apa saja.Pembawa berita harus mahir
bicara demi kuping pemirsa. Soal benar tidaknya fakta, lain waktu. Maka daripada
itu ada Operasi Mulut, Gerakan Tutup Mulut, Dari Mulut ke Mulut.
Jangan bilang-bilang kalau nusantara dari mulut buaya
beralih ke mulut serigala.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar