Halaman

Sabtu, 04 April 2020

keringat nusantara pasca olah rahang


keringat nusantara pasca olah rahang

Makan untuk hidup vs hidup untuk makan. Masalah bahasa dan berbahasa. Tuntutan biologis tak bisa diabaikan, tak bisa dikerjakan sambil apa saja. Manajemen waktu, mengerjakan beberapa item pekerjaan fisik tak sejenis dalam waktu bersamaan. Itu yang baru kasat mata.

Indikator sehat, indeks manusia sehat nusantara sulit dibakukan. Sehari perut belum ketemu nasi belum disebut makan. Beda dengan pihak berani hidup, tahan lapar tapi mulut tak kuat menahan tak sedot asap rokok. Soal polusi udara karena taat asas dan SOP merokok.

Makan kenyang rakyat beda jauh dengan acara santap malam pejabat. Rakyat makan sesuap demi sesuap. Pejabat kalau sekali suap tak kenyang, akan menyanyi. Disana kenyang, disini tak kenyang.

Pola saji cepat rumah makan membuat manusia tahu diri. Awalnya pakai porsi standar. Filosofi “selama nasi belum turun ke perut”, wajar masuk porsi periode kedua. Bukan sekedar tambah lauk. Minimal pakai pola tambah “nasaku’ alias nasi, sayur, kuah. Masih punya cadangan lauk.

Profesi yang mau tak mau, berbicara adalah bekerja. Pas untuk seniman tarik suara langgam apa saja.Pembawa berita harus mahir bicara demi kuping pemirsa. Soal benar tidaknya fakta, lain waktu. Maka daripada itu ada Operasi Mulut, Gerakan Tutup Mulut, Dari Mulut ke Mulut.

Jangan bilang-bilang kalau nusantara dari mulut buaya beralih ke mulut serigala.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar