dalil praduga besaran
sebaran golput pilkada serentak 2020
Lepas
dari data berapa provinsi plus jumlah kabupaten/kota mendapat giliran pilkada
serentak 2020. Penyakit politik bisa bertambah varian, muncul jenis baru. Elite
lokal tentu tak mau nikmat kursinya terganggu. Sirkulasi, siklus, ditribusi
kekuasaan konstitusional bak acara warisan, arisan trah golongan darah “biru”.
Efek
samping kemajuan peradaban berbangsa dan bernegara tak diikuti dengan pranata
politik dalam negeri. Partai politik di negara multipartai, jelas menjadi
partai terbuka menjaga stabilitas daya saing internal. Sistem pemilu menjadi
faktor penentu minat pemilik hak politik untuk menetapkan pilihannya. Perang
tanding antar parpol sampai akar rumput.
Semula
pihak berwajib tidak pernah mengasumsikan akan ada calon tunggal di pilkada
serentak 9 Desember 2015. Bahkan saat
itu ada daerah yang belum calon. Sejak dikenalnya fenomena golongan putih
(golput), pihak yang layak disalahkan adalah pemilik hak politik. Faktor
eskternal yang bisa mempengaruhi sampai menentukan tekad ber-golput hanya
menambah cidera demokrasi, cacat demokrasi sejak belum lahir.
Masih
mengandalkan harapan terakhir. Koalisi partai politik pro-penguasa tidak
berlaku di tingkat provinsi apalagi sampat tataran kabupaten/kota. mengacu plua
mengaca unen-unen (bahasa) Jawa, “desa mawa cara negara
mawa tata”. Pilkades saja mampu
menjadi ajang laga bebas. Bukan sekedar keseksian dana desa atau istilah
peranggaran lainnya.
Jadi,
kursi kuasa politik di bawah kursi notonegoro, tetap pakai asas “ada harga ada kursi”. Berlaku hukum
ekonomi, satu barang tidak harus satu harga. Tergantung nilai kepentingan,
tingkat harga ekonomis, kekuatan dan sentimen pasar lokal, serta daya belanja
masyarakat.
Menuju
pilpres 2024, mau tak mau, pilkada serentak 2020 menjadi barometer kedigdayaan
politik pihak penyuka yang merasa bisa. Merasa layak menjadi pewaris. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar