Halaman

Sabtu, 25 April 2020

dalil praduga besaran sebaran golput pilkada serentak 2020


dalil praduga besaran sebaran golput pilkada serentak 2020

Lepas dari data berapa provinsi plus jumlah kabupaten/kota mendapat giliran pilkada serentak 2020. Penyakit politik bisa bertambah varian, muncul jenis baru. Elite lokal tentu tak mau nikmat kursinya terganggu. Sirkulasi, siklus, ditribusi kekuasaan konstitusional bak acara warisan, arisan trah golongan darah “biru”.

Efek samping kemajuan peradaban berbangsa dan bernegara tak diikuti dengan pranata politik dalam negeri. Partai politik di negara multipartai, jelas menjadi partai terbuka menjaga stabilitas daya saing internal. Sistem pemilu menjadi faktor penentu minat pemilik hak politik untuk menetapkan pilihannya. Perang tanding antar parpol sampai akar rumput.

Semula pihak berwajib tidak pernah mengasumsikan akan ada calon tunggal di pilkada serentak 9  Desember 2015. Bahkan saat itu ada daerah yang belum calon. Sejak dikenalnya fenomena golongan putih (golput), pihak yang layak disalahkan adalah pemilik hak politik. Faktor eskternal yang bisa mempengaruhi sampai menentukan tekad ber-golput hanya menambah cidera demokrasi, cacat demokrasi sejak belum lahir.

Masih mengandalkan harapan terakhir. Koalisi partai politik pro-penguasa tidak berlaku di tingkat provinsi apalagi sampat tataran kabupaten/kota. mengacu plua mengaca unen-unen (bahasa) Jawa, “desa mawa cara negara mawa tata”. Pilkades saja mampu menjadi ajang laga bebas. Bukan sekedar keseksian dana desa atau istilah peranggaran lainnya.

Jadi, kursi kuasa politik di bawah kursi notonegoro, tetap pakai asas “ada harga ada kursi”. Berlaku hukum ekonomi, satu barang tidak harus satu harga. Tergantung nilai kepentingan, tingkat harga ekonomis, kekuatan dan sentimen pasar lokal, serta daya belanja masyarakat.

Menuju pilpres 2024, mau tak mau, pilkada serentak 2020 menjadi barometer kedigdayaan politik pihak penyuka yang merasa bisa. Merasa layak menjadi pewaris. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar