tanggap ing sasmita:
daya responsif vs kadar kepekaan vs peduli sejak dini
Secara awam, galib, lazim mapun kasat mata bahwasanya tubuh manusia,
khususnya pada fungsi perut, kinerja lambung. Buka uji coba ketahanan,
kemandarian, kedaulatan pangan. Masuk ranah daya cerna. Intervensi, invasi, agresi
yang tertangkap radar diri akan menentukan suasana kebatinan. Agitasi terselubung
berupa promo, propaganda, provokasi secara bawah sadar menjadi biang racun
diri.
Panca indra menjadi ujung tombak yang bersegera, pereaksi pertama dan
utama. Lelap malam tak membuat panca indra ikut-ikutan irama fisik. Kondisi tertentu,
malah sebagai penangkap info tembus waktu. Pemanfaatn waktu dunia menjadikan
keterbatasan efektivitas panca indra.
Selain ada dalil religiusitas berupa hak iblis untuk menjadikan manusia
sebagai sekutunya, masuk barisan koalisi peribilisan. Aneka kasus yang
melegenda global sampai legenda lokal tutur tinular. Orang dan atau manusia dengan
sisi kemanusiaan, ada yang belajar dan ambil sikap bagaimana hidup di dunia. Sisanya,
model gila dunia. Andalkan rasa optimis sesuai aliran keyakinan,
kepercayaan secara akal sehat.
Akal sehat menjadikan atau melahirkan kebijakan formal, matematis. Acap tak
ada hubungan diplomatik dengan lema ‘bajik’. Bermula dari asas ‘sama rasa, sama
rata’ menjadi dogma politik pemanis atau pemerah bibir. Timbang rasa membuat
rumusan tegas, adil menjadi pertimbangan.
Ikhwal substansial tradisonal yang berbasis kelokalan tidak perlu
dipertentangkan dengan pasal modernitas, kekinian atau tantangan dan kebutuhan zaman.
Rumusan dari tanah kembali ke tanah, tak akan lekang oleh laju peradaban zaman.
Sinyalemen malaikat ata sifat manusia yang antara lain, akan membuat kerusakan
di bumi. Ketimbang kemanfaatan sebagai kalifah yang dilekatkan sejak manusia
pertama diciptakan oleh Allah SWT.
Akhirnya, daya akal sehat manusia, menjadi pemacu pemicu untuk bersegera ‘kembali
ke tanah’. Pihak lain rajin melaksanakan gaya hidup lanjut tanpa gampang
terkejut. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar