manusia politik,
karakter bukan karakter
Sebutan manusia politik bersama manusia ekonomi, manusia
sosial muncul di suatu narasi formal kenegaraan. Tidak umum tapi umum, publik
sudah mafhum, paham secara awam. Jarang dipakai karena konotasi, stigma atau
beban psikologis bagi pemirsa. Sebegitunyakah pernasiban hanya sebatas sebutan,
predikat.
Khusus manusia politik, menjadi bebas pemaknaan. Prosiding
bertata negara sampai acara nusantara lawak klub di media layar kaca,
menyajikan dunianya. Mulai pemikiran sebangsa manusia politik sampai aneka
tindakan fisik, ujaran, bahasa tubuh seolah tanpa pikir.
Populasi memang tak seberapa. Namun efek juang yang
ditimbulkan, bak pepatah lama “nila sebelangga tak berdaya susu setitik”. Berkembangbiaknya
manusia politik liwat jalur lajur anak cucu. Iklim multipartai menjadi inkubator
alami terbentuknya manusia politik aneka citra rasa. Kasta top bergelar petugas
partai, presiden senior.
Eksistensi, jati diri mereka sulit dibedakan dengan warga
binaan pemasyarakatan. Terjebak di kubangan sistem berbangsa dan bernegara,
sehingga lupa akar diri sebagai rakyat. Mati satu muncul seribu. Surplus manusia
politik berbanding lurus dengan paceklik negarawan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar