Halaman

Selasa, 28 April 2020

manusia politik, karakter bukan karakter


manusia politik, karakter bukan karakter

Sebutan manusia politik bersama manusia ekonomi, manusia sosial muncul di suatu narasi formal kenegaraan. Tidak umum tapi umum, publik sudah mafhum, paham secara awam. Jarang dipakai karena konotasi, stigma atau beban psikologis bagi pemirsa. Sebegitunyakah pernasiban hanya sebatas sebutan, predikat.

Khusus manusia politik, menjadi bebas pemaknaan. Prosiding bertata negara sampai acara nusantara lawak klub di media layar kaca, menyajikan dunianya. Mulai pemikiran sebangsa manusia politik sampai aneka tindakan fisik, ujaran, bahasa tubuh seolah tanpa pikir.

Populasi memang tak seberapa. Namun efek juang yang ditimbulkan, bak pepatah lama “nila sebelangga tak berdaya susu setitik”. Berkembangbiaknya manusia politik liwat jalur lajur anak cucu. Iklim multipartai menjadi inkubator alami terbentuknya manusia politik aneka citra rasa. Kasta top bergelar petugas partai, presiden senior.

Eksistensi, jati diri mereka sulit dibedakan dengan warga binaan pemasyarakatan. Terjebak di kubangan sistem berbangsa dan bernegara, sehingga lupa akar diri sebagai rakyat. Mati satu muncul seribu. Surplus manusia politik berbanding lurus dengan paceklik negarawan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar