gagap tanggap vs sigap
anggap
Gaduh politik versi tanggal ganjil di tempat kosan
bebas hambatan. Sekiranya mengganggu sesama penghuni. Pihak di lantai atas
tempat kejadian perkara bergaduh-gaduh, tak mau ambil pusing. Tak mau turun
gengsi sekedar setor muka. Atau sekedar unjuk gigi agar suasana terkendali.
Lain gaya dari komunitas di lantai bawahnya. Merasa
beda tarif, lebih aman pura-pura tak perlu ambil muka. Aneka gaduh dianggap
lawak politik. Suara dari produk mulut yang saling maki. Susah dibedakan mana
suara sesuai jenis kelamin, kadar akademis maupun asupan gizi politik. Mirip
siaran media layar kaca, ada acara selingan pariwara. Menawarkan alat rumah
tangga sekali pakai.
Agar tak mempengaruhi minat tukang gerebek atau
intaian alat non-negara. Lokus dikenai sanksi lampu mati. Karena gelap, muncul
gaduh politik versi operasi senyap bikin lenyap. Gaduh suara berganti menjadi
pergerakan tanpa bayangan. Karena gelap.
Masuk babak penentu. Masuklah penguasa lokal. Tanpa
ragu, tanpa pembukaan langsung tanya: “Siapa yang bikin gaduh. Kucing atau
kucing?”. Rencana ada tanya lanjutan. Keburu ada jawaban serentak tanpa
aba-aba: “Kuciiing . . . “. Dilengkapi
dengan eongan suara kucing.
Sang penanya, yang tak dketahui identitasnya,
tampak girang. Sukses. Balik kanan siap rekaman gaya di depan kawanan peliput
berita.
“Atas petunjuk bapak presiden. Kucing-kucing tadi
sedang ukur kursi. Sebagian ada yang sibuk uji coba kursi. Sisanya, rebutan
kursi strategis”.
Tanggap ing sasmita. Itu kalau kejadian di depan
mata. Kasat mata. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar