Halaman

Kamis, 09 April 2020

gagap tanggap vs sigap anggap


gagap tanggap vs sigap anggap

Gaduh politik versi tanggal ganjil di tempat kosan bebas hambatan. Sekiranya mengganggu sesama penghuni. Pihak di lantai atas tempat kejadian perkara bergaduh-gaduh, tak mau ambil pusing. Tak mau turun gengsi sekedar setor muka. Atau sekedar unjuk gigi agar suasana terkendali.

Lain gaya dari komunitas di lantai bawahnya. Merasa beda tarif, lebih aman pura-pura tak perlu ambil muka. Aneka gaduh dianggap lawak politik. Suara dari produk mulut yang saling maki. Susah dibedakan mana suara sesuai jenis kelamin, kadar akademis maupun asupan gizi politik. Mirip siaran media layar kaca, ada acara selingan pariwara. Menawarkan alat rumah tangga sekali pakai.

Agar tak mempengaruhi minat tukang gerebek atau intaian alat non-negara. Lokus dikenai sanksi lampu mati. Karena gelap, muncul gaduh politik versi operasi senyap bikin lenyap. Gaduh suara berganti menjadi pergerakan tanpa bayangan. Karena gelap.

Masuk babak penentu. Masuklah penguasa lokal. Tanpa ragu, tanpa pembukaan langsung tanya: “Siapa yang bikin gaduh. Kucing atau kucing?”. Rencana ada tanya lanjutan. Keburu ada jawaban serentak tanpa aba-aba: “Kuciiing  . . . “. Dilengkapi dengan eongan suara kucing.

Sang penanya, yang tak dketahui identitasnya, tampak girang. Sukses. Balik kanan siap rekaman gaya di depan kawanan peliput berita.

“Atas petunjuk bapak presiden. Kucing-kucing tadi sedang ukur kursi. Sebagian ada yang sibuk uji coba kursi. Sisanya, rebutan kursi strategis”.

Tanggap ing sasmita. Itu kalau kejadian di depan mata. Kasat mata. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar