golongan manusia vs
golongan orang
Paket bom waktu berantai peninggalan sistem
pemerintahan daripada Orde Baru. sedarhana, masif, berkelanjutan. Paket istilah
SARA alias Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan. Hasil rekakata Pangkopkamtib
dengan tujuan uju coba terhadap semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kopkamtib selaku
lembaga superbody, mengantongi daya libas sangat ampuh saat itu.
Yang dimaksud dengan “semboyan Bhinneka Tunggal
Ika” adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular.
Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika
diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu dan kata tunggal ika diartikan
bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini
digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. (Penjelasan Pasal 46 UU 24/2009).
Yang dimaksud dengan “asas kebhinnekatunggalikaan”
adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu
kebangsaan mencerminkan kesatuan dalam keberagaman penduduk, agama, suku, dan
golongan, kondisi khusus daerah dan budaya bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. (Penjelasan Pasal 2 huruf e, UU 24/2009).
Bukan sekedar masalah bahasa, ketika istilah antar
golongan dijadikan satu-kesatuan yaitu antargolongan. Mau tak mau, istilah ‘keberagaman’
enak dijadikan obyek penalaran. Manusia dan atau orang, sebegitunyakah
seberapakah unsur utama yang menjadikan beda. Mulai dari definisi universal
sampai juluikan karena faktor nasib.
Status khalifah berbasis satuan makhluk sosial, bukan
keindividuan, terjadi klasifikasi yang berdampak pada martabat, kodrat manusia
dan atau orang. Keragaman horisontal atau diferensiasi sosial, masih lumayan
imbang pro dan kontranya. Masih manusiawi untuk memudahkan urusan hidup. Nasib manusia
di tangan manusia lainnya.
Lain pasal dengan stratifikasi sosial alias
keragaman vertikal. Antar .manusia bisa beda dan memang beda, tapi jangan
dipertajam. Soal ada kasta pada agama bumi, itu HAM universal kiranya. Untung
tak dapat dihitung. Rugi tak dapat dibagi. Kehidupan manusia bermasyarakat
diperlukan tata aturan yang disebut pranata sosial. Kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara melahirkan partai politik. Pemirsa berharap muncul
pranata politik (bukan bagi-bagi kursi penyelenggara negara).
Pranata sosial berbahan baku aneka norma yang
berlangsung di masyarakat. Pranata politik bentuk nyata, wujud praktik hukum
rimba politik nusantara. Asal konstitusional, modus apa pun menjadi legal. Penyebab
pertama dan utama konflik sosial sudah dilegalitas adalah politik.
Sejarah berulang untuk mendapatkan nilai pantas. Sebutam
‘generasi penerus bangsa’ dirasa menjadi beban negara. Agar pendayagunaan uang
negara tepat serba tepat, terjadilah rumusan politik pewarisan, pelestarian
kekuasaan bernegara ke anak keturunan.
Terbukti efektif penganekaragaman kursi notonegoro
melibatkan semua komponen lokal penyelenggara negara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar