dilema generasi bebas
jalur, terlambat lahir vs cepat matang
Tidak merujuk kepada kejadian nyata yang walau
terjadi rutin terkendali sebagai menu harian berbangsa, bernegara. Bukti
otentik, orisinal, aktual, faktual
bahwasanya negara hadir disetiap urusan kebutuhan rakyat. Sebegitunya,
sampai urusan yang tidak penting tetapi berdampak politis. Masuk tayangan
langsung media massa mainstream. Menjadi promosi, propaganda, provokasi
penguasa.
Agar tak berlarut, berlanjut bikim jemu. Ternyata
saat kilas balik olah kata. pas 20 November 2019 sudah kutayangkan “radikalisasi
politisi sipil nusantara, belum cukup umur vs cepat matang luar”. Timnas sepak
bola, sudah ditolong dengan sistem kelompok umur. Jangan-jangan nanti batas
umur menjadi penentu. Mungkin dan berpeluang potensial menuju kursi RI-1.
Degradasi terjadi pada nilai jual jabatan ketua
umum. Sebagai tiket terusan untuk nyapres atau berurusan dengan KPK. Parpol
kawakan yang ternyata oknum ketua umum yang hanya modal warisan. Menjadi asal
muasal, titik retak persatuan, kesatuan,
keutuhan bangsa.
Bermain politik, tak harus mulai dari 0 (nol),
menapak dari anak tangga paling bawah, merintis dari merangkak atau start awal
sebagai kader. Selalu terjadi di pesta demokrasi. Faktor “U” (uang) bisa
membuat orang yang “buta politik”, mulus dilantik jadi wakil rakyat dan atau
kepala daerah.
Belum selesai atau belum jelas kiat menjadi laik
tanding. Layak laga di kandang sendiri. Politik itu sistem. Tapi bagi yang
sedang berkuasa, sentral kekuatan, kekuasaan ada di tangan penguasa. Bebas
aktif berbuat apa saja. Semau gué. Bisa bertindak sak énak wudelé dhéwé.
Pastilah. Beda waktu. Walau dilakukan tiap hari,
rutin, tipikal, hafalan, berkelanjutan. Hasil mungkin secara tolok ukur
tertentu sama. Padahal hakikatnya tidak sama. Pakai dalil keutamaan manusia.
Manusia dan atau orang, selalu berupaya, berusaha, berikhtiar, memperbaiki niat
dan meningkatkan hasil. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar