rakyat wajib sabar
Bincang ringan tentang fenomena rakyat dengan
seabrek predikatnya. Bukan karena kadar diri dalam aneka tataran, serba
tatanan. Tiap negara punya rumusan lokal sesuai sistem kepenguasaan. Formulasi dasar
bahwasanya keberadaan rakyat menjadikan eksistensi pemimpin sebagai syarat
terbentuknya pemerintahan.
Diwacanakan bagi barang siapa mempunyai kegiatan
bersama lebih dari dua orang, demi kelancaran kegiatan selayaknya menunjuk seorang
pemimpin atau ketua. Hakikat pemimpin dalam skala tertentu, terbatas adalah
wakil, duta, atas nama, pengemban amanat. Sistem pemilihan, bukan penunjukkan
langsung, menjadikan kedudukan ‘pemimpin’ punya konsekuensi dunia akhirat.
Rakyat dipandang bukan hanya sebatas manusia,
selaku orang. Meningkat tapi diharapkan bukan sebagai tingkatan, strata, kasta.
Ungkapan ‘dasar rakyat’ menjadi dalil logika yang bukan atau jauh dari posisi rakyat.
Bagaimana ‘nasib’ rakyat menganut sistem
pemerintahan dan atau model negara multipartai. Kita simak anak-kalimat ketiga
atau terakhir dari Pembukaan (preambule) UUD NRI 1945, tersurat:
“ . . . .maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.”
Kiranya, tak perlu dipergunjingkan secara politis
apalagi diperdebatkan ala debat kusir. Bebas dari amandemen atau perubahan. Tapi
berkat sentuhan politis atau efek pikir manusia politik 1999-2002, kedudukan
rakyat diperjelas liwat Amandemen.
Jarwodosok atau akronim lema, kata ‘rakyat’ mungkin
belum populer. Lain halnya dengan profesi ‘guru’. Dibahasai menjadi ‘wagu lan
saru’. Kendati awal selaku sosok yang ‘digugu lan ditiru’ yang tak seimbang
dengan sebutan ‘lugu tur kuru’.
Hanya saja, hikmah Amandemen terlihat nyata,
terukur, terstruktur pada martabat MPR plus DPR. Agar berimbang belum tentu
setara. Berkat Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, muncul ayat baru, yaitu:
Pasal 1
(2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.
Masih ada
lagi kemunculan kata.lema ‘rakyat’ sesuai hasil Amandemen. Lain judul. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar