Halaman

Kamis, 30 April 2020

replikasi dua periode, penyakit politik vs demokrasi ekonomi


replikasi dua periode, penyakit politik vs demokrasi ekonomi

Disparitas penegakan hukum. Sesuai UUD NRI 1945 yang baru empat kali mengalami perubahan. Tersurat dan tersirat, kurang apa wewenang pihak penegak hukum. Apalagi mereka yang sebagai ujung tombak, berhadapan langsung dengan rakyat. Episode tragedi “Buaya vs Buaya” tak bisa dianggap ada dualisme, duplikasi, tumpang tindih atau adu kuat kewenangan antar penegak hukum.

Sejauh iseng, penulis belum secara tak sengaja melihat rumusan “pemufakatan jahat”. Apa karena masuk ranah ‘penyakit politik’, efek domino kejahatan politik yang masuk kategori ‘dipelihara oleh negara’. Sang legislator dan atau usulan pemerintah, sama-sama jaga wibawa.

Paribasan Jawa, begini tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksud niat arti adalah,   wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol.

Biaya politik, ongkos perkara politik untuk operasi dan pemeliharaan pemerintah yang sah sesuai hasil akhir pesta demokrasi, jelas non-budgeter. Semakin membengkak, menanjak jika penguasa belum jatuh tempo sudah curi start. Terjadilah yang seharusnya tidak yerjadi, yaitu wong bener tenger-tenger.

Budaya bangsa memang menggariskan patuhilah pimpinan, wakilmu selama masih bener lan pener. Ketika sang penguasa semakin keblinger, wajib diingatkan. Tindak keblinger sampai klimaksnya, membuat rakyat nek, mblenger, perlu tindak turun tangan.

Rakyat, yang merupakan permanent underclass, uneducated people serta warga negara yang kurang beruntung. Masuk kategori kelompok elit (ekonomi sulit). Plus stigma yang seolah wajib diayomi oleh penguasa. Kendati selalu ‘tertinggal di landasan’, rakyat tetap tekun, rukun melakoni kehidupan dan penghidupannya. Sesuyai tradisi moral bermasyarakat. Menu harian dinikmati tanpa niatan protes. Bersyukur walau tak tahu besok sarapan atau tidak. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar