replikasi dua periode,
penyakit politik vs demokrasi ekonomi
Disparitas penegakan hukum. Sesuai
UUD NRI 1945 yang baru empat kali mengalami perubahan. Tersurat dan tersirat,
kurang apa wewenang pihak penegak hukum. Apalagi mereka yang sebagai ujung
tombak, berhadapan langsung dengan rakyat. Episode tragedi “Buaya vs Buaya” tak
bisa dianggap ada dualisme, duplikasi, tumpang tindih atau adu kuat kewenangan
antar penegak hukum.
Sejauh iseng, penulis belum secara
tak sengaja melihat rumusan “pemufakatan jahat”. Apa karena masuk ranah
‘penyakit politik’, efek domino kejahatan politik yang masuk kategori
‘dipelihara oleh negara’. Sang legislator dan atau usulan pemerintah, sama-sama
jaga wibawa.
Paribasan Jawa, begini tulisannya :
si gèdhèg lan si anthuk. Maksud niat arti adalah, wong loro kang wis padha kangsèn
tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol.
Biaya politik, ongkos
perkara politik untuk operasi dan pemeliharaan pemerintah yang sah sesuai hasil
akhir pesta demokrasi, jelas non-budgeter. Semakin membengkak, menanjak jika
penguasa belum jatuh tempo sudah curi start. Terjadilah yang seharusnya tidak
yerjadi, yaitu wong bener tenger-tenger.
Budaya bangsa memang
menggariskan patuhilah pimpinan, wakilmu selama masih bener lan pener. Ketika sang penguasa
semakin keblinger,
wajib diingatkan. Tindak keblinger sampai klimaksnya, membuat rakyat nek, mblenger, perlu tindak turun
tangan.
Rakyat, yang merupakan permanent underclass, uneducated people serta warga negara yang
kurang beruntung. Masuk kategori kelompok elit (ekonomi sulit). Plus stigma yang seolah wajib diayomi oleh penguasa. Kendati
selalu ‘tertinggal di landasan’, rakyat tetap tekun, rukun melakoni kehidupan
dan penghidupannya. Sesuyai tradisi moral bermasyarakat. Menu harian dinikmati
tanpa niatan protes. Bersyukur walau tak tahu besok sarapan atau tidak. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar