ketika uang negara
dianggap recehan
Bermula dari seseorang anak bangsa nasionalis
tulen. Tidak ada niat sekerat pun untuk menjadi kepala daerah atau wakil
rakyat. Berkat dorongan pihak tertentu, terpaksa maju. Karena ybs punya
karakter layak dibeli. Akhirnya, biaya politik sampai proses rekapitulasi dan
penetapan pemenang sudah ada yang mengatur.
Pasca ucap sumpah dan janji, otomatis proyek balas
jasa bergulir. Tak pakai nanti-nanti. Agar tak salah jalan, tak sesat jalan,
maka peta dan skenario politik sudah siap oerasional satu periode. Tak perlu
main sedot uang negara. Asal pakai asas patuh, loyal kepada cukung, bandar,
investor politik sudah tersedia jaminan sosial, jaminan hidup.
Versi lain atau pola lain lebih berklas. Beda pada
niat politik. Yang mana dimana, adalah oknum politisi sipil kambuhan. Merasa mampu
jadi pemimpin, jika terpilih. Banyak bukti nyata yang tak bisa disebut atau
diurutkan sesuai klasisfikasi kasus. Tidak hanya berlaku pada perolehan kursi
hasil pesta demokrasi, bisa efek berantainya. Semacam akta jual-beli kursi.
Lelang jabatan akan lancar jika unsur politis ikut
andil. Lurus-lurus saja akan tersingkir di babak awal. Bisa-bisa bisa melanda
jabatan Ketua RW dan atau Ketua RT yang ada insentif ataui tunjangan jabatan,
uang pusing.
Beban biaya politik, ongkos kirim suara ditanggung
selama jabatan masih di tangan. Bagi yang cerdas politik, malah sudah
mentargetkan diri bisa berlanjut ke periode berikut. Gali lubang tutup lubang. Bilamana
perlu pindah kendaraan politik. Berjenjang jabatan atau bergeser ke daerah
lain. Namanya politik.
Jadi, nusantara kaya dengan oknum yang ahli. Masuk pasal
jual negara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar