Halaman

Kamis, 02 April 2020

ketika uang negara dianggap recehan


ketika uang negara dianggap recehan

Bermula dari seseorang anak bangsa nasionalis tulen. Tidak ada niat sekerat pun untuk menjadi kepala daerah atau wakil rakyat. Berkat dorongan pihak tertentu, terpaksa maju. Karena ybs punya karakter layak dibeli. Akhirnya, biaya politik sampai proses rekapitulasi dan penetapan pemenang sudah ada yang mengatur.

Pasca ucap sumpah dan janji, otomatis proyek balas jasa bergulir. Tak pakai nanti-nanti. Agar tak salah jalan, tak sesat jalan, maka peta dan skenario politik sudah siap oerasional satu periode. Tak perlu main sedot uang negara. Asal pakai asas patuh, loyal kepada cukung, bandar, investor politik sudah tersedia jaminan sosial, jaminan hidup.

Versi lain atau pola lain lebih berklas. Beda pada niat politik. Yang mana dimana, adalah oknum politisi sipil kambuhan. Merasa mampu jadi pemimpin, jika terpilih. Banyak bukti nyata yang tak bisa disebut atau diurutkan sesuai klasisfikasi kasus. Tidak hanya berlaku pada perolehan kursi hasil pesta demokrasi, bisa efek berantainya. Semacam akta jual-beli kursi.

Lelang jabatan akan lancar jika unsur politis ikut andil. Lurus-lurus saja akan tersingkir di babak awal. Bisa-bisa bisa melanda jabatan Ketua RW dan atau Ketua RT yang ada insentif ataui tunjangan jabatan, uang pusing.

Beban biaya politik, ongkos kirim suara ditanggung selama jabatan masih di tangan. Bagi yang cerdas politik, malah sudah mentargetkan diri bisa berlanjut ke periode berikut. Gali lubang tutup lubang. Bilamana perlu pindah kendaraan politik. Berjenjang jabatan atau bergeser ke daerah lain. Namanya politik.

Jadi, nusantara kaya dengan oknum yang ahli. Masuk pasal jual negara. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar