anomali adab nusantara,
perubahan sosial vs peremajaan politik
Bagaimana intrelasi, hubungan timbal balik antara
sosial dengan politik. Secara formal berbangsa dan bernegara, kita simak UU RI Nomor 7 tahun 2012 tentang Penangan
Konflik Sosial. Agar tidak sekedar tahu saja merasa sudah tahu. Perdalam simak pasal, lanjut ke:
Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari:
a.
permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan
sosial budaya;
b.
perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat
beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c.
sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau
provinsi;
d.
sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau
antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau
e.
distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam
masyarakat.
Hanya
terjadi di bumi Pancasila bahwasanya bangsa adalah akumulasi dari kaum, rumah
tangga, keluarga maupun penduduk, warganegara, masyarakat, suku atau sebutan
semaksud lainnya. Pasal lain menyuratkan plus menyiratkan predikat manusia
sosial, manusia ekonnomi, manusia politik masuk narasi yuridis formal.
Banyak
ahli dan ahlinya menguraikan apa itu ‘perubahan sosial’. Namanya uraian, malah
ada yang semakin mengkusutkan agar tampak ilmiah. Minimal tampak sebagai hasil
perenungan atau kesimpulan pengalaman hidup.
Setiap
manusia dan atau orang penghuni, pemukim tanah-air nusantara. Asumsi pengalaman
keluarga. Perubahan keluarga dirasakan mulai kelahiran anak pertama. Lanjut pertambahan anggota keluarga, khususnya anak
kandung. Tantangan dan kebutuhan zaman terasa sejalan pertumbuhan umur anak.
Evektivitas
globalisasi dan pasar bebas dunia ternyata mampu merasuk sampai tatanan rumah
tangga keluarga. Bumbu dapur yang bisa dipetik dari halaman rumah atau dibeli
di pasar tradisional. Ternyata ada yang ‘rasa asing’ kualifikasi mutu impor.
Akhirnya,
manusia diperbudak oleh barang/jasa buatannya sendiri. Gadget, produk
unggulan TIK plus media massa mainstream dan sisanya. Menjadikan anak
bau kencur cepat matang luar. Pihak lain, generasi bau tanah menua lambat
merayap.
Standar moral Pancasila pada praktik demokrasi
multipartai, lebih merefleksikan bahwa baik atau buruk; benar atau salah; betul atau keliru; bagus
atau buruk berdasarkan demokrasi adalah ditentukan suara terbanyak, mayoritas.
Secara aklamasi, voting atau adu suara. Terlebih untuk kuasa politik. Bukan
sesuai ketentuan agama, norma, tradisi moral yang berlaku di masyarakat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar