Halaman

Kamis, 16 April 2020

ketika Allah melapangkan nafasku


ketika Allah melapangkan nafasku

Jalan kaki dengan tujuan rutin keluar komplek, menjadi hal biasa. Sepasang kaki nyaris hafal jalan yang layak injak. Kubangan, licin, miring, berkerakal dsb. Mata kaki dapat diandalkan. Waspada di persimpangan, penyelonong motor dikendalikan anak bawah umur. Di pinggir jalan raya tanpa trotoar. Sampai kapan pindah gigi. Atau sigap berhenti mendadak.

Subuhan ke masjid mengawali langkah kaki harian. Pemanasan kaki jelang lelap malam. Jelajah wilayah RT atau memutari blok tempat tinggal. Bincang atau sebagai pendegar di gardu jaga. Jangan manjakan kaki, takut kempol bak tukang becak. Padahal pesepak bola, yang tak kekar cuma kepala. Tetap harus kokoh untuk menyundul bola atau bemper saling rebut bola.

Kaki diajak sibuk, produktif dan berkreasi apa saja. Di tanah, di air, di udara. Pakai alat bantu agar berdaya kerja sesuai cita-cita pendiri rumah tangga.item pekerjaan, dari ringan tapi tak meringankan sampai berat dijinjing. Terapkan ilmu bugar dengan metode push up. Pasal ini acap saya tayang olah kata.

Jumlah push up tak kejar bilangan, tak pakai model waktu. Tak terkait dengan umur dan atau usia. Kapan saja, di mana saja. Status statis, jumlah push up dengan tangan mengepal kelipatan sepuluh. Utamakan usai push up, nafas tetap stabil. Tergopoh-gopoh masih wajar. Asal jangan sampai ngos-mgosan. Analog dengan jalan cepat dari rumah ke pintu gerbang komplek, balik lagi beda rute. Nafas tetap normal, datar. Seperti tidak pasca jalan. Keringat pun malas keluar.

Taat aturan main sehat saat agresi Covid-19. Keluar rumah saja, kenakan masker kain. Biasa saya pakai saat rawat tanaman, sapu jalan, bersihkan got yang memancing asma diri. Hidung kerja ekstra saat diajak jalan jauh. Tarikan nafas perlu energi, kalori tambahan. Tidak bisa secara alami, ikuti irama masuk keluar.

Selasa 7 April 2020. Bank Mandiri langganan, klas apa namanya, tutup. Nasabah disarankan ke BM cabang. Akhirnya, demi Rp, BM dimaskud kucapai, kudatangi dengan jalan kaki. Tidak dengan pulangnya, kombinasi naik angkot, kejar azan dzuhur. Dehidrasi yang berdampak 2-3 hari. Ibarat tanaman dalam pot, layu kurang air, di bawah terik.

Liwat masa kritis, transisi lulus ujian alam. Malam sambangi gardu jaga RT. Buang ingus santai karena sepi. Liwat lubang hidung kiri, terloncat bukan ingus atau saudaranya. Terasa loncatannya. Kucari, seperti tidak ada benda asing yang nyata-nyata. Tetap sesuai niat awal, rutin. Tetap pakai masker, kecuali saat buang ingus tadi. Bukan tiba-tiba. Setelah kejadian biasa tapi tak biasa tadi. Nafas menjadi lapang, lega. Tarikan nafas seimbang dan bisa full.

Tak ada kapoknya. Belajar dari pengalaman. Rabu, 15 April 2020, pukul 08:30 start jalan kaki cepat ke BM yang sama. Butuh 1 jam 23 menit. Pulangnya, idem dengan modus pertama. Bedanya, pakai belanja setelah turun dari angkot. Termasuk di warung komplek. Setelah daripada itu, termasuk pasca lapang nafas, lega nafas. Alat utama pernafasan tidak ada ATHG berarti. Aman, nyaman, terkendali sesuai fungsi utama. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar