status quo tipikor vs
penyimpangan politik
RI menggunakan kriteria Bank Dunia, membagi kelompok
penduduk menjadi tiga bagian besar, yaitu 40% terbawah, 40% menengah, dan 20%
teratas. Pakai model BST (banding, sanding, tanding) dengan struktur piramida sistem
pemerintahan. Rumit jika menafsirkan bagaimana siklus, sirkulasi, distribusi
kekuasaan.
Kentara terasa negara multipartai secara sadar memelihara
partai gurem. Atas dasar asas tinggal daripada Pancasila, hanya ada 3 parpol
aliran 3B (bintang, beringin, banteng). Asumsi sejarah kian meneguhkan bahwa
berbasis semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka oleh karena itu simbol bintang
yang bersudut lima; pohon beringin; kepala banteng menjadi lambang partai
politik.
Anomali cuaca politik 2020 efek semtimen negatif invasi,
inrervensi, intimidasi Covid-19. Kejadian bencana politik tak merata di
nusantara. Karhutla masuk agenda kegiatan manusia. Sistem pangan teruji.
Kemandirian pangan pakai alternatif subsidi silang. Perdagangan antar daerah.
Fenomena daerah rawan, rentan, riskan (3R) korup, menjadi
uji nyali perdana – tak pakai coba-coba – pihak berwenang dan atau berkewajiban
2019-2024. Melanjutkan skenario 2014-2019 atau pakai formula mutakhir. Cikal bakal
pelaku korup di zona abu-abu melebihi kuota.
Jelas tegas lugas, praktik demokrasi 3R berbasis
masyarakat sipil, mengacu pada konsep Reduce (mengurangi), Reuse
(menggunakan kembali) dan Recycle (daur ulang). Landasan idiil partai
politik gurem sampai melek-merem sama yaitu Pancasila. Penjabaran liwat AD dan
ART sesuai kebijakan pemrakrasa, pendiri, donatur. Wewenang oknum ketua umum
setara dengan presiden kepala negara, kepala pemerintahan.
Tipikor, hak konstitusional penyelenggara negara. Sudah
kehendak, suratan dan takdir sejarah, bahwa nasib perjalanan hidup bangsa dan
negara Indonesia seolah di tangan ambisi dan energi partai politik (parpol).
Biaya politik, ongkos perkara bencana politik, mahar politik, NPWP (nomer piro
wani piro), atau sebutan lainnya, bukannya tanpa dampak, bahkan multi efek.
Indonesia boleh bangga, menjadi satu-satunya negara di
ASEAN, terjadi konflik “Cicak vs Buaya” secara serial, episode bersambung antar
periode. Bayangkan, aparat keamanan yang juga alat negara, hamba hukum merasa
risih dengan adanya KPK. Bukannya menempatkan diri secara terpadu, sistematis,
sinergis pada ranah penegakan plus pelaksanaan hukum.
Bisa-bisa, bahka bisa terjadi bahwa tipikor menjadi soko
guru Revolusi Mental. Jangan lupa, pergeseran adab politik memantapkan episode “Buaya
vs Buaya”. Semangkin banyak pasal hukum ditetapkan akan berbanding lurus dengan
modus pengabaian pasal yang sudah ada. Kata pariwara, kambing hitam santap
kambing hitam. Kian banyak perpres digulirkan tanda cari aman.
Cilakanya, sistem demokrasi nusantara malah melahirkan
hukum ekonomi-politik. Justru pasca sumpah dan atau janji sanggup duduk lama
sebagai penguasa, ongkos duduk lama lebih banyak, lebih besar daripada biaya
meraih kursi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar