Halaman

Senin, 20 April 2020

status quo tipikor vs penyimpangan politik


status quo tipikor vs penyimpangan politik

RI menggunakan kriteria Bank Dunia, membagi kelompok penduduk menjadi tiga bagian besar, yaitu 40% terbawah, 40% menengah, dan 20% teratas. Pakai model BST (banding, sanding, tanding) dengan struktur piramida sistem pemerintahan. Rumit jika menafsirkan bagaimana siklus, sirkulasi, distribusi kekuasaan.

Kentara terasa negara multipartai secara sadar memelihara partai gurem. Atas dasar asas tinggal daripada Pancasila, hanya ada 3 parpol aliran 3B (bintang, beringin, banteng). Asumsi sejarah kian meneguhkan bahwa berbasis semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka oleh karena itu simbol bintang yang bersudut lima; pohon beringin; kepala banteng menjadi lambang partai politik.

Anomali cuaca politik 2020 efek semtimen negatif invasi, inrervensi, intimidasi Covid-19. Kejadian bencana politik tak merata di nusantara. Karhutla masuk agenda kegiatan manusia. Sistem pangan teruji. Kemandirian pangan pakai alternatif subsidi silang. Perdagangan antar daerah.

Fenomena daerah rawan, rentan, riskan (3R) korup, menjadi uji nyali perdana – tak pakai coba-coba – pihak berwenang dan atau berkewajiban 2019-2024. Melanjutkan skenario 2014-2019 atau pakai formula mutakhir. Cikal bakal pelaku korup di zona abu-abu melebihi kuota.

Jelas tegas lugas, praktik demokrasi 3R berbasis masyarakat sipil, mengacu pada konsep Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali) dan Recycle (daur ulang). Landasan idiil partai politik gurem sampai melek-merem sama yaitu Pancasila. Penjabaran liwat AD dan ART sesuai kebijakan pemrakrasa, pendiri, donatur. Wewenang oknum ketua umum setara dengan presiden kepala negara, kepala pemerintahan.

Tipikor, hak konstitusional penyelenggara negara. Sudah kehendak, suratan dan takdir sejarah, bahwa nasib perjalanan hidup bangsa dan negara Indonesia seolah di tangan ambisi dan energi partai politik (parpol). Biaya politik, ongkos perkara bencana politik, mahar politik, NPWP (nomer piro wani piro), atau sebutan lainnya, bukannya tanpa dampak, bahkan multi efek.

Indonesia boleh bangga, menjadi satu-satunya negara di ASEAN, terjadi konflik “Cicak vs Buaya” secara serial, episode bersambung antar periode. Bayangkan, aparat keamanan yang juga alat negara, hamba hukum merasa risih dengan adanya KPK. Bukannya menempatkan diri secara terpadu, sistematis, sinergis pada ranah penegakan plus pelaksanaan hukum.

Bisa-bisa, bahka bisa terjadi bahwa tipikor menjadi soko guru Revolusi Mental. Jangan lupa, pergeseran adab politik memantapkan episode “Buaya vs Buaya”. Semangkin banyak pasal hukum ditetapkan akan berbanding lurus dengan modus pengabaian pasal yang sudah ada. Kata pariwara, kambing hitam santap kambing hitam. Kian banyak perpres digulirkan tanda cari aman.

Cilakanya, sistem demokrasi nusantara malah melahirkan hukum ekonomi-politik. Justru pasca sumpah dan atau janji sanggup duduk lama sebagai penguasa, ongkos duduk lama lebih banyak, lebih besar daripada biaya meraih kursi. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar