resep politik nusantara
(malah) memacu dan memicu
Persatuan Indonesia dirangkaikan, direkatkan secara
dinamis oleh jati diri bahasa daerah. Profesi humoris-causa bisa awet antar
studio dan atau stasiun siaran layar kaca, akibat mengolah bahasa daerah
menjadi bahan baku pengocok perut.
Kejawaan manusia wong Jawa bisa kasat mata liwat bahasa
tutur maupun bahasa tubuh. Keluarga menjadi sekolah, madrasah pertama dan utama
membentuk manusia didik. Piwulang pada konsep hidup Jawa Klasik didominasi orientasi praktik
pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti. Penguasaan moral, karakter.
akhlak secara normatif maupun khususnya religiusitas, akan meringankan pembentukan
mental anak bangsa.
Bagaimana, dengan cara apa mengisi kemerdekaan ini.
Rasanya, sejak Proklamator yang juga presiden pertama RI sampai presiden
ketujuh RI. Banyak pihak yang justru mungkin tidak berhak, malah paling banyak
mendapatkan ruang, kapling, maupun peluang, kesempatan. Pakai lema ‘malah’
menimbulkan multitafsir. Itu yang diharapkan dari pemirsa.
Memudahkan alur olah kata, pakai gaya filosofi
kejawen. Jika seseorang membawa lilin menyala di tangannya, apakah bisa memasuki
ruang gelap. Langsung tanpa proses akal, satu kata: “bisa!”. Nada mencemooh,
meremehkan termasuk rasa bangga mampu menjawab lantang. Kalau perlu dilengkapi
bahasa tubuh.
Akhirnya, aktivitas “mengisi kemerdekaan” menjadi
PR harian. Ingat pakem berbudi bawa leksana acap diikuti dengan ungkapan
“sabda brahmana raja, tan kena wola-wali” artinya, segala ucapan
mengandung janji, yang telah terucap, tercuap, terujar bebas oleh sang raja
(pemimpin) tidak boleh diulang-ulang. Atau dipakai sebagai penguat, pemanis bak
bumbu politik. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar