omong kebablasan, putar baliknya jauh
Berpangkal tolak dari judul “omong maton vs waton ngomong”, status 5/15/2020 9:25 PM. Media massa asing merasa heran tapi maklum. Tanpa terasing apalagi gumunan. Anak bangsa pemakan bangku sekolah, ikut paket kejar ijazah, gelar akademis antri sampai pangkat alat negara, malah gemar mewaspadai riak-riak ketimbang gelombang tsunami. Seolah gamang menghadapai kenyataan hidup atau fakta global. Angka keamanan “wajar” jika berurusan dengan Rp dalam bentuk anggaran, biaya duduk, sumber pasokan atau kaidah bisnis berbangsa dan bernegara.
Sejatinya, diamnya orang yang diam saat menyikapi keadaan, sebagai ciri kearifannya. Bukan ketidakpedulian. Semakin tahu dengan fakta atau ayat kauniyah, menjadikan orang semakin bijaksana. Ke-diam-an rakyat sarat dengan ikhtiar dan isti'anah (memohon pertolongan Allah) tanpa gaya terus berlapis, berlanjut. Tak peduli apa kata komen pihak ringan mulut. Tak peduli mitos “sedikit bicara banyak kerja”. Intinya sadar diri jangan sampai hingga menjadi manusia merugi.
Syahwat plus saraf politik nusantara, menjadikan manusia politik tidak bisa membedakan apakah modus tutur, ucap, cuap, ujarnya sangat beda dengan kentut, buang gas, buang angin. Jangan salahkan kalau marak, beredarnya, merebaknya berita bohong alias hoax akibat ulah panutan. Bagaimanapun bahasa penguasa akan berbalik.
Dilema politik balik adab, ujaran
kebencian vs ajaran kebancian. Puncak prestasi politisi sipil bangsa pribumi
rumpun nusantara turunan, cukup santun dan laik santunan. Tetap berbasis,
mengacu, fungsi kursi legal konstitusional. Menapak dari mana tanah dipijak
atau langsung nangkring, nongkrong di supremasi kursi. Tak jadi masalah, memang
bukan masalah. Percepatan karier identik terjun bebas gaya bebas. Sesuai kurva
protokol tata moral. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar