Halaman

Minggu, 18 April 2021

démagog ora waton njegog

démagog ora waton njegog

 Bukti tertulis tentang hidup dan berkehidupan, menjadi peribahasa bahasa Jawa. Berlaku berlanjut tanpa batas periode kepemimpinan nasional. sampai waktu kapan pun. Sejarah adab bermanusia yang akan membuktikan. Tepatnya “asu gedhé menang kerahé”. Ditarik-tarik memang ada benang merah sekali dengan aksi “kejahatan kerah putih”.

 Judul olah kata masih berasap hangat-hangat, “trah agawé bubrah, balung gedhé vs rai gedhèg”. Status simpan 2/5/2021 10:40 PM. Tatanan budaya politik nusantara melahirkan pasal bahwa yang baik, bagus, benar, betul sesuai aklamasi, bukan norma moral, tradisi adat luhur leluhur apalagi norma religuisitas. Konstruksi hukum di serba menjanjikan. Konflik hukum terselubung, berlapis masih sekitar beda pemahaman. Keterbukaan hukum mengacu pada siapa yang terlibat. Bukan pada pasal. Intensitas dan eskalasi konflik yang acap terjadi antara kawanan melek hukum dengan pihak yang non-melek hukum.

 Kontribusi, kiprah, kinerja kawanan anggota partai sedemikiannya. Ingat dalil dilema politik balik adab, ujaran kebencian vs ajaran kebancian. Puncak prestasi politisi sipil bangsa pribumi rumpun nusantara turunan, cukup santun dan laik santunan. Tetap berbasis, mengacu, fungsi kursi legal konstitusional. Menapak dari mana tanah dipijak atau langsung nangkring, nongkrong di supremasi kursi. Tak jadi masalah, memang bukan masalah. Percepatan karier identik terjun bebas gaya bebas. Sesuai kurva protokol tata moral. 

Zaman daripada Orde Baru yang tetap bergulir ikut modus tirani minoritas. Pihak berseberangan dengan kebijakan pemerintah mendapat stigma anti kemapanan. Zaman reformasi muncul modus resmi di bawah wewenang penguasa. Ujaran nista diri. Gaya bahasa sarkasme, satire, sinisme, ironi plus jargon versi PKI. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar