Halaman

Jumat, 23 April 2021

dalih mau sholat, asasi diri abaikan kewajiban sosial

 dalih mau sholat, asasi diri abaikan kewajiban sosial

 Keberagamaan seseorang, kendati sudah terikat dalam ikatan pasutri. Dosa ditanggung masing pihak sesuai catatan malaikat. Tidak salah untuk perkara tertentu. Hakikat kepala keluarga selaku iman. Pada prakteknya hanya waktu yang menjadi saksi. Posisi isteri selaku wanita karier, membuat faktor ajar plus panutan masih bisa terlacak. Bukan pertimbangan dan atau perimbangan kisah sukses keluarga.

 Barometer kasat mata sang anak meneruskan tradisi keilmuan dan ketauhidan orang tua. Warisan ilmu dan nama baik orang tua tak habis dimakan zaman. Generasi pewaris masa depan diformat sesuai harga sekarang namun mengantisipasi kebutuhan masa depan yang bukan hak milik. Tata, tatanan, tataran moral memperkuat landasan pacu agar anak pandai-pandai pandai berlaga di ajang persaingan bebas.

 Kembali ke ikhwal pasutri. Tumpukan strata keilmuan tidak identik dengan menstimulus nilai dan adab rélligiusitas diri ybs. Memasuki tahap purna bakti, lebih bermakna ketimbang di rumah saja. Tahu waktu karena sudah waktunya. Tahu-tahu waktu sudah berlalu. Peringatan atau tanya ajak dari pasangan, namanya sudah sama-sama bau tanah.

 Benih-benih merasa diri wajib dekat dengan-Nya. Wajib menjaga jarak horizontal. Agar bisa lebih fokus bertatap muka dengan-Nya. Tidak perlu bersegera dengan panggilan lima waktu. Dhuha dipaskan nyambung dengan dzuhur. Maghrib dengan isya’ menjadi satu paket. Jika diingatkan pernik-pernik rukun pasutri, utamakan berkedekatan dengan-Nya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar