Halaman

Minggu, 23 Juni 2019

zaman batu, nama Achmad ahli masjid . . .


zaman batu, nama  Achmad ahli masjid . . .

Bakda ashar, kuberlanjut sibuk diri jalan cepat. Ditumpangi misi  membeli obat 3 warna. Nyeri di belikat kiri. Hasil diagnosa, gejala jantung minta perhatian. Abaikan atau was-was. Pulang dari berobat, tetangga satu RT wafat di rumahnya  saat istirahat di rumah yang lain.  Akibat ulah  jantung. Semangat hidup terprovokasi.

Ada pengalaman tersendiri beli obat untuk pegel linu, nyeri sendi otot, rematik, njarem dan gejala yang sama. Obatnya 3 butir dengan bentuk dan warna berbeda. Ada yang dalam plastik, tanpa merek. Ada yang bermerek pabrikan dan nama obat. Beda ukuran kemasan.

Karena tujuan utama ke toko obat depan kompleks perumahan. Rute berangkat dan pulang berbeda. Menambah banyak langkah agar keringat rela diperas. Menghindar disalip motor yang tak segan menawari boncengan. Warga yang di blok depan sudah paham bahwasanya saya kemana-mana jalan kaki. Bukan sekedar hobi jalan  kaki sehat.

Termasuk mendekati  wilayah teritorial RT, sengaja menyusuri jalan pinggir sungai. Pas liwat polder pengendali mutu banjir. Ada suara memanggil menyebut nama depan. Terpaksa hidung melacak sumber suara. Petugas partai sedang menjaring sampah yang masuk polder. Penjaring ikan diberi galah panjang.

Tangan memang terpakai bekerja, tampak luwes. Entah mengapa sang bapak ajak salaman. Tangan langsung lanjut uber sampah. Agar tampak peduli lingkungan.

“Dari mana . . . “, ujarnya sedikit selidik. Maklum saat itu saya kenakan hem katun putih lengan pendek. Biasanya cuma pakai kaos oblong. Mendadak ingatan teringat sekilas.

Kilas balik ke Jum’at 24 Mei 2019, bulan Ramadhan 1440H. Pas saya sampai tengah masjid. Tepatnya di antara 4 kolom. Dari arah kanan, bergegas menyambut. Seseorang dengan gamis trendy yang masih segar. Pratanda lebih banyak digantung atau dilipat. Ybs memakai tutup kepala nonputih atau topi haji. Rajutan benang wol. Terheran nyengir kuda melihat kehadiran saya.

Busana yang kukenakan memang jauh dari atribut busana muslim. Bersih menjadi panutan. Ybs langsung jabat tanganku sambil menarik, berujar ketus, “ayo di belakang saja”. Kakinya bergerak ke shaf paling belakang. Bisa bersandar di dinding. Tanpa reaksi ucap. Tangan kutarik kuat sambil melangkah pasti ke shaf terdepan. Kejadian seterusnya, sebagaimana biasanya. Tak perpengaruh apalagi terganggu ulah si gamis.

Karena ybs jauh lebih banyak makan asam garam kehidupan. Kesempatan kusempatkan untuk menyidir ringan. Kujawab keingintahuannya, “dari masjid al-falah. Tapi tak pakai gamis seperti bapak.” Sadar akan sentuhan jawaban. Nyengir kudanya menyembul, “yang penting hatinya . . .”. Diimbangi tangan sibuk  mengaduk dan mengudak air hijau lumut, tampungan dari beberapa got blok RT.

Bahasa tubuhnya seperti tersinggung, terserempet fakta sejarah. Agar lebih mendekatkan pada realita kehidupan. Beliau langsung berdiri, memposisikan alat kerja. Terpaksa bubar atau sekedar.

Namanya kesempatan yang kata ahlinya hanya datang sekali. Sambil pamit sempat kubilang setengah bercanda, sesuai judul. Tak perlu menunggu reaksi. Kuputar badan, turun dari bibir polder. Langsung bergegas menapaki bumi. Amalan sore masih antri. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar