zaman batu, nama
Achmad ahli masjid . . .
Bakda ashar,
kuberlanjut sibuk diri jalan cepat. Ditumpangi misi membeli obat 3 warna. Nyeri di belikat kiri. Hasil
diagnosa, gejala jantung minta perhatian. Abaikan atau was-was. Pulang dari
berobat, tetangga satu RT wafat di rumahnya saat istirahat di rumah yang lain. Akibat ulah jantung. Semangat hidup terprovokasi.
Ada pengalaman
tersendiri beli obat untuk pegel linu, nyeri sendi otot, rematik, njarem dan gejala yang sama. Obatnya 3 butir dengan
bentuk dan warna berbeda. Ada yang dalam plastik, tanpa merek.
Ada yang bermerek pabrikan dan nama obat. Beda ukuran kemasan.
Karena tujuan utama
ke toko obat depan kompleks perumahan. Rute berangkat dan pulang berbeda. Menambah
banyak langkah agar keringat rela diperas. Menghindar disalip motor yang tak
segan menawari boncengan. Warga yang di blok depan sudah paham bahwasanya saya kemana-mana
jalan kaki. Bukan sekedar hobi jalan kaki sehat.
Termasuk mendekati wilayah teritorial RT, sengaja menyusuri
jalan pinggir sungai. Pas liwat polder pengendali mutu banjir. Ada suara
memanggil menyebut nama depan. Terpaksa hidung melacak sumber suara. Petugas partai
sedang menjaring sampah yang masuk polder. Penjaring ikan diberi galah panjang.
Tangan memang
terpakai bekerja, tampak luwes. Entah mengapa sang bapak ajak salaman. Tangan langsung
lanjut uber sampah. Agar tampak peduli lingkungan.
“Dari mana . . . “,
ujarnya sedikit selidik. Maklum saat itu saya kenakan hem katun putih lengan
pendek. Biasanya cuma pakai kaos oblong. Mendadak ingatan teringat sekilas.
Kilas balik ke Jum’at
24 Mei 2019, bulan Ramadhan 1440H. Pas saya sampai tengah masjid. Tepatnya di antara
4 kolom. Dari arah kanan, bergegas menyambut. Seseorang dengan gamis trendy
yang masih segar. Pratanda lebih banyak digantung atau dilipat. Ybs memakai
tutup kepala nonputih atau topi haji. Rajutan benang wol. Terheran nyengir kuda
melihat kehadiran saya.
Busana yang
kukenakan memang jauh dari atribut busana muslim. Bersih menjadi panutan. Ybs
langsung jabat tanganku sambil menarik, berujar ketus, “ayo di belakang saja”. Kakinya
bergerak ke shaf paling belakang. Bisa bersandar di dinding. Tanpa reaksi ucap.
Tangan kutarik kuat sambil melangkah pasti ke shaf terdepan. Kejadian
seterusnya, sebagaimana biasanya. Tak perpengaruh apalagi terganggu ulah si
gamis.
Karena ybs jauh
lebih banyak makan asam garam kehidupan. Kesempatan kusempatkan untuk menyidir
ringan. Kujawab keingintahuannya, “dari masjid al-falah. Tapi tak pakai gamis
seperti bapak.” Sadar akan sentuhan jawaban. Nyengir kudanya menyembul, “yang
penting hatinya . . .”. Diimbangi tangan sibuk mengaduk dan mengudak air hijau lumut,
tampungan dari beberapa got blok RT.
Bahasa tubuhnya
seperti tersinggung, terserempet fakta sejarah. Agar lebih mendekatkan pada
realita kehidupan. Beliau langsung berdiri, memposisikan alat kerja. Terpaksa bubar
atau sekedar.
Namanya kesempatan
yang kata ahlinya hanya datang sekali. Sambil pamit sempat kubilang setengah
bercanda, sesuai judul. Tak perlu menunggu reaksi. Kuputar badan, turun dari
bibir polder. Langsung bergegas menapaki bumi. Amalan sore masih antri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar