mengapa (justru) kita bersegera, bergegas meninggalkan
Ramadhan
Puasa Ramadhan di Indonesia, menjadi ibadah sosial, kolosal maupun
tradisional. Menentukan kebijakan pemerintah untuk memfasilitasi jalur mudik. Berbasis
kepadatan pengguna jalan, angkutan umum menjadi proyek abadi. Khususnya di
pulau Jawa.
Masjid, surau, langgar tak kalah meriah menyambut datangnya bulan agung. Agar
tamu Allah menjadi betah sampai akhir Ramadhan. Umat Islam berlomba memperbanyak
amal, meningkatkan kapasitas dan intensitas
ibadah. Panitia Ramadhan sibuk dengan acara standar maupun atraktif.
Asumsi historis sepertinya menghantui semua pihak.
Ironis binti miris. Makmurnya masjid menunjukkan grafik yang nyaris konsisten
tiap tahun. 10 hari pertama, menjadi beban dan bahan pembicara sholat taraweh.
10 hari kedua mengindikasikan bagaimana nasib jamaah. Kegiatan rutin harian,
khsusnya buka bareng, masih wajar.
Perkuatan ibadah Ramadhan di 10 hari terakhir. Babak akhir, pemutakhiran
kadar pencapaian derajat takwa. Uber malam 1000 bulan. Sertifikat muttaqin
lebur dengan menyusutnya jamaah. Jamaah 5 waktu masih setia setiap saat, waktu.
Bersyukur, tanah air menjadi masjid bagi pemudik. Apakah 1 Syawal dengan
acara utama saling minta maaf, mampu menyatukan.
Open house pejabat lokal, menjadi sarana temu muka. Pelebur
saling silang.
Hari pertama kerja. Mulai dari “nol”. Siap melanjutkan tradisi harian. Masing-masing
kembali ke posisi semula. Siap memerankan, mempraktikkan menu harian. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar