Halaman

Senin, 10 Juni 2019

mengapa (justru) kita bersegera, bergegas meninggalkan Ramadhan


mengapa (justru) kita bersegera, bergegas meninggalkan Ramadhan

Puasa Ramadhan di Indonesia, menjadi ibadah sosial, kolosal maupun tradisional. Menentukan kebijakan pemerintah untuk memfasilitasi jalur mudik. Berbasis kepadatan pengguna jalan, angkutan umum menjadi proyek abadi. Khususnya di pulau Jawa.

Masjid, surau, langgar tak kalah meriah menyambut datangnya bulan agung. Agar tamu Allah menjadi betah sampai akhir Ramadhan. Umat Islam berlomba memperbanyak amal,  meningkatkan kapasitas dan intensitas ibadah. Panitia Ramadhan sibuk dengan acara standar maupun atraktif.

Asumsi historis sepertinya menghantui semua pihak.

Ironis binti miris. Makmurnya masjid menunjukkan grafik yang nyaris konsisten tiap tahun. 10 hari pertama, menjadi beban dan bahan pembicara sholat taraweh. 10 hari kedua mengindikasikan bagaimana nasib jamaah. Kegiatan rutin harian, khsusnya buka bareng, masih wajar.

Perkuatan ibadah Ramadhan di 10 hari terakhir. Babak akhir, pemutakhiran kadar pencapaian derajat takwa. Uber malam 1000 bulan. Sertifikat muttaqin lebur dengan menyusutnya jamaah. Jamaah 5 waktu masih setia setiap saat, waktu.

Bersyukur, tanah air menjadi masjid bagi pemudik. Apakah 1 Syawal dengan acara utama saling minta maaf, mampu menyatukan.

Open house pejabat lokal, menjadi sarana temu muka. Pelebur saling silang.

Hari pertama kerja. Mulai dari “nol”. Siap melanjutkan tradisi harian. Masing-masing kembali ke posisi semula. Siap memerankan, mempraktikkan menu harian. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar