baladewa kélangan gapit,
isih dhuwé arit
Babakan wayang tak akan habis dibeberkan.
Semakin banyak versi, kian atraktif. Bukan pada kapan dan dimana kejadian
kisah. Seolah bisa terjadi di zaman kereta tak berkuda. Petugas partai didapuk
menjadi tokoh wayang. Diangkat dan diangkat-angkat agar tampak wibawa diri.
Terjadilah kejadian berbasis proses ngingu satru nglelemu mungsuh. Maksudnya,
memelihara musuh mempergemuk musuh. Simak olah kata dengan tajuk “musuh rakyat
vs sahabat pejabat”.
Pemain wayang bisa dilematis. Merasa
berkat dukungan biaya politik mampu berkuasa, terjadi perang batin. Dirinya yakin
akan kehilangan persaudaraan, persahabataan atau kepercayaan rakyat yang tak
bisa dibeli.
Wayang wong Jawa, berbekal primbon
bawah bantal, mengikuti pasal bilamana mampu menghilangkan kepentingan pribadi,
maka manusia akan mencapai harkat dirinya melalui tindakan luhur.
Kehidupan bernegara, masuk ramuan
oplosan tiga masalah yang seolah tampak berbeda, tapi nyambung, yaitu ketertambatan, takdir, dan
penyesalan menjadi satu adonan. Karena ketiga
komponen tadi mengacu kepada ketidakberdayaan manusia menghadapi sesuatu. Baik
hal itu timbul karena dorongan nafsu pribadinya, semacam ambisi politik maupun karena kekuasaan di luar dirinya
sendiri, sejenis boneka politik.
Akhir cerita yang lengkapnya ialah “umuké kaya iso mutung-mutungna wesi
gligen”. Maksud kata adalah ‘sombongnya seperti (dapat) mematahkan besi
batangan’. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar