Halaman

Selasa, 18 Juni 2019

baladewa kélangan gapit, isih dhuwé arit


baladewa kélangan gapit, isih dhuwé arit

Babakan wayang tak akan habis dibeberkan. Semakin banyak versi, kian atraktif. Bukan pada kapan dan dimana kejadian kisah. Seolah bisa terjadi di zaman kereta tak berkuda. Petugas partai didapuk menjadi tokoh wayang. Diangkat dan diangkat-angkat agar tampak wibawa diri.

Terjadilah kejadian berbasis proses ngingu satru nglelemu mungsuh. Maksudnya, memelihara musuh mempergemuk musuh. Simak olah kata dengan tajuk “musuh rakyat vs sahabat pejabat”.

Pemain wayang bisa dilematis. Merasa berkat dukungan biaya politik mampu berkuasa, terjadi perang batin. Dirinya yakin akan kehilangan persaudaraan, persahabataan atau kepercayaan rakyat yang tak bisa dibeli.

Wayang wong Jawa, berbekal primbon bawah bantal, mengikuti pasal bilamana mampu menghilangkan kepentingan pribadi, maka manusia akan mencapai harkat dirinya melalui tindakan luhur.

Kehidupan bernegara, masuk ramuan oplosan tiga masalah yang seolah tampak berbeda, tapi nyambung, yaitu ketertambatan, takdir, dan penyesalan menjadi satu adonan.  Karena ketiga komponen tadi mengacu kepada ketidakberdayaan manusia menghadapi sesuatu. Baik hal itu timbul karena dorongan nafsu pribadinya, semacam ambisi politik  maupun karena kekuasaan di luar dirinya sendiri, sejenis boneka politik.

Akhir cerita yang lengkapnya ialah “umuké kaya iso mutung-mutungna wesi gligen”. Maksud kata adalah ‘sombongnya seperti (dapat) mematahkan besi batangan’. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar